Halaman

Menyajikan dan menerima postingan untuk/dari masyakat Empat Lawang baik yang tinggal di Empat Lawang atau yang berada di luar daerah, yang berkaitan dengan Adat Istiadat, Seni Budaya Dll.
Tampilkan postingan dengan label Tradisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tradisi. Tampilkan semua postingan

MAKAN SIRIH, TRADISI SEHAT MASYARAKAT EMPAT LAWANG YANG MAKIN DITINGGALKAN

MAKAN SIRIH, TRADISI SEHAT MASYARAKAT EMPAT LAWANG YANG MAKIN DITINGGALKAN


Budaya makan sirih atau mengunyah kapur sirih hidup di Asia Tenggara. Pendukung budaya ini terdiri dari berbagai golongan, meliputi masyarakat bawah, pembesar negara, serta kalangan istana.  Tradisi makan sirih tidak diketahui secara pasti dari mana berasal. Dari cerita-cerita sastra, dikatakan tradisi ini berasal dari India.

Pelaut terkenal Marco Polo menulis dalam catatannya di abad ke-13, bahwa orang India suka mengunyah segumpal tembakau. Sementara itu penjelajah terdahulu seperti Ibnu Batutah dan Vasco de Gama menyatakan bahwa masyarakat Timur memiliki kebiasaan memakan sirih.

Di masyarakat India, sirih pada mulanya bukan untuk dimakan, tetapi sebagai persembahan kepada para dewa sewaktu sembahyang di kuil-kuil. Beberapa helai daun sirih dihidangkan bersama dengan kelapa yang telah dibelah dua dan dua buah pisang emas.

MAKAN SIRIH, TRADISI SEHAT MASYARAKAT EMPAT LAWANG YANG MAKIN DITINGGALKAN
Seorang nenek sedang mengunyah sirih

Sirih sangat dikenal di kalangan masyarakat Melayu. dulu selain dimakan oleh rakyat kebanyakan, sirih juga dikenal sebagai simbol budaya dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam adat istiadat Melayu. Sirih dipakai dalam upacara menyambut tamu, upacara merisik dan meminang, upacara pernikahan, pengobatan tradisional, dan berbagai upacara adat yang lain.

Begitu juga di Empat Lawang, tradisi makan sirih ini juga sudah di wariskan secara turun temurun namun pada saat ini makan sirih hanya di pertahankan oleh kalangan sepuh alias nenek-nenek (Nekno) saja yang masih melakukannya. meskipun tradisi ini sudah dilakukan turun temurun namun dengan semakin majunya zaman, maka perlahan-lahan tradisi inipun ditinggalkan.

ALAT TRADISI SEHAT MAKAN SIRIH MASYARAKAT EMPAT LAWANG
Gobek atau Orak, alat bantu penghancur kapur sirih


Makan sirih biasanya dilakukan disela waktu senggang ataupun sembari melakukan aktifitas ringan lainnya. Jika kaum pria memiliki kebiasaan merokok menggunakan rokok nipah (berbahan daun lontar/ jagung) sehabis makan maka bagi kaum perempuan juga biasanya melakukan tradisi makan sirih.

Selanjutnya dalam tradisi makan sirih ini  ada istilah Pridon. Pridon sendiri adalah wadah untuk menampung air ataupun cairan berwarna merah pekat yang dihasilkan ketika bahan-bahan tersebut dikunyah berbentuk seperti vas bunga yang terbuat dari tanah liat atau logam. Sangat terasa sekali aroma gambir dan daun sirih kala kita berada didekat pridon ataupun orang yang sedang makan sirih. Kemudian mako adalah tembakau yang digumpalkan kemudian digunakan untuk membersihkan sela-sela gigi dari bahan-bahan yang dikunyah.

PRIDON ALAT TRADISI SEHAT MAKAN SIRIH MASYARAKAT EMPAT LAWANG
Pridon, tempat membuang kunyahan sirih

Bagi wanita, nyirih akan mempercantik diri asalkan tidak jorok. Bibir akan secara alami berwarna merah tanpa menggunakan lipstik. Dengan nyirih, gigi akan menjadi kuat sampai tua. Resikonya cuma satu yaitu gigi menjadi kemerahan bahkan menghitam luarnya, tapi kuat.

Selama ini memang sangat diyakini oleh masyarakat bahwa daun sirih memiliki banyak manfaat. Tidak hanya dimanfaatkan secara tradisional, daun sirih juga sudah banyak diolah secara modern sebagai bahan obat-obatan herbal. Satu diantara manfaat daun sirih tersebut adalah mampu mengobati gigi dan gusi yang bengkak. Belum lagi lane alias kapur yang sudah pasti banyak mengandung kalsium juga sangat diyakini mampu membantu menjaga kesehatan gigi.

Berikut ini hal-hal yang dibutuhkan dalam kegiatan makan sirih

1. Daun sirih


TRADISI SEHAT MAKAN SIRIH MASYARAKAT EMPAT LAWANG

2. Kapur sirih


TRADISI SEHAT MAKAN KAPUR SIRIH MASYARAKAT EMPAT LAWANG

3. Gambir/ Getah Gambir


GAMBIR SIRIH TRADISI MASYARAKAT EMPAT LAWANG

4. Tembakau/ Mako


MAKO SIRIH TRADISI MASYARAKAT EMPAT LAWANG

5. Buah Pinang


BUAH PINANG SIRIH TRADISI MASYARAKAT EMPAT LAWANG


Cara makan sirih:

  • Ambil 1 sampai 2 lembar daun sirih
  • Ambil sedikit kapur sirih, sedikit isi biji pinang yang muda, dan gambir kemudian bungkus dengan daun sirih tersebut
  • Kemudian kunyah daun sirih beserta isinya sampai hancur
  • Untuk membersihkan gigi, pakailah tembakau. 

Tertarik mencoba? Siap-siap saja merasakan sensasi pedas dan rasa pengah ketika mengunyah bahan-bahan tesebut. Akan tetapi jika sudah mencoba bersiaplah untuk ketagihan. Mudah-mudahan saja tradisi makan sirih tetap bisa dilestarikan sebagai salah satu warisan budaya.



Sumber: Lintang Dusunku

Merawat Tradisi Sedekah Serabi di Daerah Empat Lawang


Merawat Tradisi Sedekah Serabi di Daerah Empat Lawang


Suku Lintang di Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan memiliki tradisi unik dalam memenuhi nazar, yakni dengan mengadakan Sedekah Serabi. 

Dalam pelaksanaan tradisi itu, prosesnya sama seperti kenduri yang berisi doa-doa.

Masyarakat menyebutnya Sedekah Serabi karena pelaksanaan kenduri atau sedekahan tersebut mengutamakan serabi sebagai makanan utamanya, dengan makanan pendamping berupa pisang goreng, kerupuk ubi merah, bolu, agar-agar, dan kecepol (sejenis roti goreng).

Merawat Tradisi Sedekah Serabi di Daerah Empat Lawang

Sedekah Serabi diyakini sudah ada sejak zaman nenek moyang Suku Lintang, jauh sebelum agama Islam berkembang dan menjadi mayoritas pemeluk di Kabupaten Empat Lawang. Namun menurut  salah seorang mantan Kepala Desa Simpang Perigi, Rozali, sejak tahun 1980-an tradisi ini mulai jarang dilakukan masyarakat, jika pun ada hanya beberapa desa saja yang masih mengadakannya.

Suku Lintang merupakan bagian dari jalinan Batang Hari Sembilan Sumatera Bagian Selatan. Pada masa lampau masyarakat Empat Lawang juga menganut kepercayaan animisme yang percaya kepada kekuatan roh puyang (leluhur) serta dianggap masih dapat melindungi anak cucunya walau sudah meninggal dunia.

Ketika ada Sedekah Serabi, tuan rumah atau pemilik hajat akan menyilap (membakar) kemenyan sebagai media berkomunikasi dengan puyang. Budayawan Sumsel sekaligus Direktur Lembaga Budaya Komunitas Batangari Sembilan, Vebri Al-lintani, menyebutkan jika sembari mengepulkan asap kemenyan, yang punya hajatan menyampaikan nazarnya kepada puyang, jika nazarnya terkabul maka Sedekah Serabi lagi.

Masyarakat percaya membayar nazar adalah kewajiban. Jika tidak dilaksanakan, hal itu khawatir akan terkena keparat atau kualat.

Setelah masyarakat Empat Lawang secara penuh menjalankan atau menganut agama Islam, Sedekah Serabi masih dilaksanakan. Namun, permohonan kepada puyang digantikan dengan doa-doa kepada Allah SWT.

Lazimnya, Sedekah Serabi dilaksanakan pada malam Jumat sehabis shalat maghrib. Malam Jumat dipercaya sebagai waktu kembalinya roh puyang ke rumah untuk menjenguk anak cucunya.

Sementara itu, menurut keyakinan Islam, malam Jumat merupakan waktu yang baik untuk berdoa dan bersyukur. Oleh karena itu, Sedekah Serabi saat sebelum maupun setelah masa Islam, tetap dilaksanakan pada malam Jumat.

Intinya tujuan Sedekah Serabi adalah bermohon (membuat nazar) dan bersyukur atau membayar nazar dengan bersedekah atau mengajak sanak kerabat makan bersama, kebanyakan nazar warga karena kesembuhan anak atau lulusnya anak jadi ASN (Aparatur Sipil Negara).

Serabi di Kabupaten Empat Lawang umumnya terdiri atas beberapa jenis, seperti serabi 44, serabi baghi, serabi baru, atau kidak, dan serabi biasa.

Ada dua jenis serabi yang kerap dihadirkan saat sedekah, yakni serabi belangan atau serabi 44 dan serabi biasa.

Serabi 44 berbentuk bulat lempeng, berwarna putih dengan ukuran sekitar diameter 10 cm dan lebih besar dari ukuran serabi biasa, disebut serabi 44 karena jumlahnya 44 saat dihidangkan, sedangkan serabi lain yang sudah dicampur dengan kuah santan bentuknya juga bulat lempeng dengan ukuran sekitar lima centimeter.

Serabi 44 tidak langsung dicampur dalam kuah, tetapi ditaruh di tengah piring, serabi biasa disusun mengelilingi serabi 44, serabi 44 khusus dibagikan sedikit-sedikit kepada para sesepuh atau para tetua masyarakat, sedangkan serabi biasa untuk konsumsi umum.

Serabi terbuat dari bahan tepung beras dengan sedikit kapur makan. Bahan-bahan dicampur air panas dan dingin, diaduk serta dibentuk sesuai selera, misalnya bentuk lupis atau lempeng.

Untuk kuah serabi berbahan santan ditambahkan gula merah dan gula putih sebagai pemanis. Berbeda dengan membuat kuah santan umumnya, kuah santan kelapa untuk serabi dimasukkan ke dalam adonan kuah ketika air sudah mendidih. Akan lebih sedap jika kuahnya dicampurkan durian.

Budaya Melayu erat kaitannya dengan pantun, angka empat tersebut memiliki kesamaan bunyi (rima) tepat, empat-empat artinya tepat-tepat, tepat bernazar dan tepat juga dalam membayar nazar, sedangkan warna putih pada serabi melambangkan kesucian dan rasa manis melambangkan keindahan.

Sedekah Serabi merupakan warisan budaya yang mengandung nilai luhur berupa ketakwaan kepada Allah dan bersyukur apabila sudah dikabulkan permintaannya, berbagi rezeki pada sesama, bersilaturahim dengan kerabat, dan menanamkan sikap kegotongroyongan.

Saat ini Sedekah Serabi terancam punah karena kian jarang ditemui, sehingga Pemkab Empat Lawang perlu memikirkan cara bagaimana pelestarian Sedekah Serabi.

Pemkab Empat Lawang perlu mengangkat tradisi Sedekah Serabi sebagai kegiatan resmi di pemerintahan daerah itu, seperti saat ulang tahun atau peringatan hari-hari besar pemerintah, baik di tingkat kabupaten maupun tingkat kelurahan.

Jika hal tersebut terealisasi, pelestarian nilai tradisi akan tetap bertahan dan peristiwa Sedekah Serabi menjadi aset bagi pengembangan sektor kepariwisataan.

Hal yang perlu diperhatikan juga, terkait dengan rasa, bentuk, dan cara menyajikan serabi, sehingga Sedekah Serabi akan diminati banyak orang serta membantu promosi serabi sebagai makanan khas Empat Lawang.

Agar lebih meriah, tradisi Sedekah Serabi dapat dikolaborasikan dengan pergelaran kesenian tradisional, seperti jidur, rejung, tari tarian, atraksi kuntau (pencak silat yang berkembang di Empat Lawang), dan kesenian tradisional lainnya.


Sumber: Febri Irwansyah (Antara News)