Halaman

Menyajikan dan menerima postingan untuk/dari masyakat Empat Lawang baik yang tinggal di Empat Lawang atau yang berada di luar daerah, yang berkaitan dengan Adat Istiadat, Seni Budaya Dll.
Tampilkan postingan dengan label Empat Lawang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Empat Lawang. Tampilkan semua postingan

Situs Purbakala & Peninggalan Kuno Di Empat Lawang

Situs Purbakala & Peninggalan Kuno Di Empat Lawang


Terkait erat dengan daerah Lahat dan Pagar Alam yang banyak memiliki situs purbakala, begitu juga dengan Empat Lawang yang masih terikat dalam satu wilayah Provinsi Sumatera Selatan,  hal ini terkait di temukannya beberapa arca, dolmen & naskah kuno yang ada di Empat Lawang.

Adapun peningalan-peninggalan sejarah tersebut adalah :

1. Tujuh Batu Megalit


Tujuh Batu Megalit Di Empat Lawang
(Gambar Ilustrasi) Arca manusia


Baru-baru ini ada Tujuh batu megalit berbentuk arca manusia dalam berbagai ukuran ditemukan di areal hutan lindung di Kecamatan Talangpadang, Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan,

Batu megalit berbentuk manusia dalam berbagai ukuran mulai dari anak-anak hingga manusia dewasa ini berada di satu lokasi, dan letaknya terpencar di atas lahan seluas sekitar satu hektare di kawasan perbukitan di perbatasan Sumsel dengan Provinsi Bengkulu.

Selain ditemukan patung, di daerah itu juga terdapat gua batu berukuran lebar 2 meter dengan tinggi sekitar 2,5 meter. Tidak diketahui secara pasti kemungkinan adanya megalit lainnya, mengingat daerah itu jarang didatangi orang.

Jarak yang harus di tempuh untuk sampai ke lokasi adalah  empat jam dengan berjalan kaki dari Desa Talangpadang ke lokasi situs tersebut, dengan menjelajah hutan belantara dan perbukitan,"

Patung batu itu ada yang berbentuk seorang wanita, anak-anak, dan laki-laki dengan posisi berdiri tegak.Diperkirakan batu megalit itu sudah berumur ribuan tahun, dengan tinggi antara 1 hingga 1,7 meter dan kondisinya masih utuh dan sayangnya sampai saat ini belum ada dokumentasi lengkap tentang ketujuh arca ini.

2. Dolmen


Dolmen Di Empat Lawang
Dolmen yang berada di belakang MTs Al Khoir


Penemuan megalith jenis dolmen ini sudah lama di temukan oleh warga di Kecamatan Pendopo dan kecamatan Muara Pinang Kabupaten Empat Lawang. Dolmen yang ada di Kecamatan Pendopo berada di Dusun Gunung Meraksa lokasinya di belakang MTs Al Khoir di tempat perkebunan warga.

Dolmen atau meja batu merupakan tempat meletakkan sesaji yang dipersembahkan kepada roh nenek moyang. Di bawah dolmen itu biasanya sering ditemukan kubur batu. Di Sumatera bagian selatan dolmen memang sering ditemukan.

Kemungkinan masih banyak peningalan-peningalan lain yang di temukan oleh warga, hanya saja di karenakan belum adanya penelitian jadi tidak pernah diceritakan oleh masyarakat dusun dan terekspos ke publik apalagi karena banyak masyarakat yang belum mengerti.

3. Kapak Batu


Kapak Batu Di Empat Lawang
Kapak Batu yang diperjualbelikan di OLX wilayah Empat Lawang


Pernah tanpa sengaja ketika  surfing jelajah ke situs olx.co.id dan mampir di wilayah transaksi  Empat Lawang, saya menemukan hal  menarik, yaitu iklan yang menjual kapak batu. entah dari mana si pengiklan mendapatkan kapak batu tersebut tetapi saya yakin kapak batu tersebut juga berasal dari Empat Lawang, hal ini beralasan karena wilayah Empat Lawang banyak peninggalan-peninggalan megalitikum. Tetapi sangat di sayangkan apabila barang prasejarah ini diperjualbelikan dan keluar dari wilayah empat lawang sebagai salah satu kekayaan peninggalan kuno.

Kapak Batu adalah sebuah batu yang mirip dengan kapak,  tetapi tidak bertangkai dan cara mempergunakannya dengan cara menggenggam. Kapak genggam terkenal juga dengan sebutan kapak perimbas, dalam ilmu prasejarah disebut chopper artinya alat penetak. betuk Batu tersebut dipahat memanjang atau diserpih sehingga berbetuk lonjong.

4. Naskah Kuno


Naskah Kuno Di Empat Lawang
(Gambar Ilustrasi) Naskah kuno


Tim Survei Aksara Lokal Balai Arkeologi Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel) menemukan Dua naskah kuno di Pendopo Lintang, Kabupaten Empat Lawang.

Untuk meneliti lebih lanjut naskah kuno tersebut telah di turunkan tim peneliti aksara hurup ulu beranggotakan empat orang saat melakukan penelitian di lima kabupaten/kota sejak 12 April lalu.
Dua naskah ini  ditemukan tepat di Desa Lingge, Kecamatan Pendopo, Empat Lawang. Isinya tentang bercocok tanam dan mengusir hama tanaman.

Memang untuk menemukan berbagai peninggalan bersejarah berupa aksara ulu dibutuhkan waktu dan melalui pendekatan terhadap masyarakat. Sebab peninggalan ini tidak semua orang menyimpan dan sifatnya hanya koleksi saja, pencarian berbagai benda bersejarah ini bisa dilakukan dengan mendatangi sejumlah “Dusun Tua”. Kemudian bisa juga di daerah pusat marga dan orang-orang yang menjadi elite pemerintahan pada zaman itu.



Sumber: Lintang Dusunku

Memperkenalkan Cita Rasa Kopi Robusta Empat Lawang


Memperkenalkan Cita Rasa Kopi Robusta Empat Lawang 


Kopi Robusta merupakan salah satu kopi yang berasal dari daerah Empat Lawang, Sumatera Selatan. Kopi jenis ini memiliki aroma wangi  dan rasanya yang gurih meninggalkan kesan tersendiri bagi penikmatnya. meski tidak setenar kopi Robusta Basemah ataupun Kopi Robusta Lampung. tetapi perlu di ketahui bahwa mayoritas petani yang ada di Empat Lawang adalah Petani Kopi, dan hasil kopi Empat Lawang dari zaman dulu telah mengisi pangsa pasar kopi Indonesia.

Bahkan Empat Lawang menjadikan kopi sebagai ikon daerahnya. Tidak lengkap rasanya, jika datang ke Empat Lawang tanpa menikmati secangkir kopi atau tidak membawa oleh-oleh kopi sebagai produk perkebunan andalan daerah tersebut. 

Memperkenalkan Cita Rasa Kopi Robusta Empat Lawang

Mayoritas Kopi Empat Lawang adalah jenis Robusta yang tumbuh di dataran tinggi di sekitar pegunungan & perbukitan. Adapun ciri khas Kopi Robusta adalah rasanya yang lebih menyerupai cokelat. Bau yang dihasilkan juga manis. Tekstur dari kopi ini cenderung kasar dan memiliki warna yang bervariasi.

Pohon kopi Robusta sendiri lebih rentan diserang serangga. Pohon ini dapat tumbuh pada daratan rendah yaitu sekitar 700 m dpl. Jumlah biji kopi yang dihasilkan juga lebih tinggi. Untuk proses berbunga, diperlukan waktu hingga 10 bulan yang nantinya menjadi buah. Jenis kopi ini berbuah pada suhu udara yang lebih hangat.

Rasa dari kopi Robusta Empat Lawang ini cenderung memiliki variasi rasa yang netral. Terkadang juga memiliki rasa atau aroma seperti gandung. Sebelum disangrai, biji kopi ini memiliki aroma kacang-kacangan. Yang disayangkan, amat jarang untuk menemukan robusta berkualitas tinggi dipasaran sana. Faktanya, harga biji kopi Arabica lebih tinggi bila dibandingkan dengan Kopi Robusta.

Cita Rasa Kopi Robusta Empat Lawang

Kini untuk lebih mengenalkan kopi Empat Lawang, Pemerintah Kabupaten Empat lawang melakukan berbagai upaya mulai dari edukasi pada petani sampai peningkatan kualitas dalam prosesnya juga pemasaran. 

Seperti contoh pada bulai April 2017 kemarin Empat Lawang mengirimkan kadernya untuk mengikuti pelatihan "Uji Cita Rasa  Kopi" yang di adakan di Jember. hal ini di harapkan agar kelak dapat memberikan ilmu yang dapat di terapkan di masyarakat Empat Lawang sekaligus memperkenalkan kopi Empat Lawang di kanca Nasional.


Memperkenalkan Cita Rasa Kopi Robusta dari Empat Lawang

Empat Lawang yang memiliki tupografi daerah perbukitan, dikenal sebagai daerah sentra penghasil kopi di Sumatera Selatan. Dari 8 kecamatan, 7 kecamatan di antaranya mengandalkan kopi sebagai produk andalan pertanian. Luasan perkebunan kopi di kabupaten dengan slogan Saling Keruani Sangi Kerawati tersebut mencapai 60.398 hektar lebih.

Saat ini perkebunan kopi di Empat Lawang masih merupakan perkebunan rakyat dan menjadi mata pencarian utama. Tidak kurang dari 37.554 kepala keluarga (KK) di Empat Lawang berprofesi sebagai petani kopi. Itulah menjadi salah satu alasan pemerintah setempat menjadikan kopi sebagai ikon daerah. Sehingga timbul istilah belum merasa ke Empat Lawang jika belum menikmati secangkir kopi dan membawa oleh-oleh kopi dari Empat Lawang.  

Meskipun saat ini kopi asal Empat Lawang belum dijual dengan kemasan khusus dan dipasarkan secara nasional, namun kekhasan kopi Empat Lawang sudah mulai dikenal. Untuk hasil perkebunan andalan, kopi masih menduduki peringkat pertama hasil perkebunan di Empat Lawang dibanding jenis tanaman perkebunan lain. 

Cita Rasa Kopi Robusta dari Empat Lawang



MAKAN SIRIH, TRADISI SEHAT MASYARAKAT EMPAT LAWANG YANG MAKIN DITINGGALKAN

MAKAN SIRIH, TRADISI SEHAT MASYARAKAT EMPAT LAWANG YANG MAKIN DITINGGALKAN


Budaya makan sirih atau mengunyah kapur sirih hidup di Asia Tenggara. Pendukung budaya ini terdiri dari berbagai golongan, meliputi masyarakat bawah, pembesar negara, serta kalangan istana.  Tradisi makan sirih tidak diketahui secara pasti dari mana berasal. Dari cerita-cerita sastra, dikatakan tradisi ini berasal dari India.

Pelaut terkenal Marco Polo menulis dalam catatannya di abad ke-13, bahwa orang India suka mengunyah segumpal tembakau. Sementara itu penjelajah terdahulu seperti Ibnu Batutah dan Vasco de Gama menyatakan bahwa masyarakat Timur memiliki kebiasaan memakan sirih.

Di masyarakat India, sirih pada mulanya bukan untuk dimakan, tetapi sebagai persembahan kepada para dewa sewaktu sembahyang di kuil-kuil. Beberapa helai daun sirih dihidangkan bersama dengan kelapa yang telah dibelah dua dan dua buah pisang emas.

MAKAN SIRIH, TRADISI SEHAT MASYARAKAT EMPAT LAWANG YANG MAKIN DITINGGALKAN
Seorang nenek sedang mengunyah sirih

Sirih sangat dikenal di kalangan masyarakat Melayu. dulu selain dimakan oleh rakyat kebanyakan, sirih juga dikenal sebagai simbol budaya dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam adat istiadat Melayu. Sirih dipakai dalam upacara menyambut tamu, upacara merisik dan meminang, upacara pernikahan, pengobatan tradisional, dan berbagai upacara adat yang lain.

Begitu juga di Empat Lawang, tradisi makan sirih ini juga sudah di wariskan secara turun temurun namun pada saat ini makan sirih hanya di pertahankan oleh kalangan sepuh alias nenek-nenek (Nekno) saja yang masih melakukannya. meskipun tradisi ini sudah dilakukan turun temurun namun dengan semakin majunya zaman, maka perlahan-lahan tradisi inipun ditinggalkan.

ALAT TRADISI SEHAT MAKAN SIRIH MASYARAKAT EMPAT LAWANG
Gobek atau Orak, alat bantu penghancur kapur sirih


Makan sirih biasanya dilakukan disela waktu senggang ataupun sembari melakukan aktifitas ringan lainnya. Jika kaum pria memiliki kebiasaan merokok menggunakan rokok nipah (berbahan daun lontar/ jagung) sehabis makan maka bagi kaum perempuan juga biasanya melakukan tradisi makan sirih.

Selanjutnya dalam tradisi makan sirih ini  ada istilah Pridon. Pridon sendiri adalah wadah untuk menampung air ataupun cairan berwarna merah pekat yang dihasilkan ketika bahan-bahan tersebut dikunyah berbentuk seperti vas bunga yang terbuat dari tanah liat atau logam. Sangat terasa sekali aroma gambir dan daun sirih kala kita berada didekat pridon ataupun orang yang sedang makan sirih. Kemudian mako adalah tembakau yang digumpalkan kemudian digunakan untuk membersihkan sela-sela gigi dari bahan-bahan yang dikunyah.

PRIDON ALAT TRADISI SEHAT MAKAN SIRIH MASYARAKAT EMPAT LAWANG
Pridon, tempat membuang kunyahan sirih

Bagi wanita, nyirih akan mempercantik diri asalkan tidak jorok. Bibir akan secara alami berwarna merah tanpa menggunakan lipstik. Dengan nyirih, gigi akan menjadi kuat sampai tua. Resikonya cuma satu yaitu gigi menjadi kemerahan bahkan menghitam luarnya, tapi kuat.

Selama ini memang sangat diyakini oleh masyarakat bahwa daun sirih memiliki banyak manfaat. Tidak hanya dimanfaatkan secara tradisional, daun sirih juga sudah banyak diolah secara modern sebagai bahan obat-obatan herbal. Satu diantara manfaat daun sirih tersebut adalah mampu mengobati gigi dan gusi yang bengkak. Belum lagi lane alias kapur yang sudah pasti banyak mengandung kalsium juga sangat diyakini mampu membantu menjaga kesehatan gigi.

Berikut ini hal-hal yang dibutuhkan dalam kegiatan makan sirih

1. Daun sirih


TRADISI SEHAT MAKAN SIRIH MASYARAKAT EMPAT LAWANG

2. Kapur sirih


TRADISI SEHAT MAKAN KAPUR SIRIH MASYARAKAT EMPAT LAWANG

3. Gambir/ Getah Gambir


GAMBIR SIRIH TRADISI MASYARAKAT EMPAT LAWANG

4. Tembakau/ Mako


MAKO SIRIH TRADISI MASYARAKAT EMPAT LAWANG

5. Buah Pinang


BUAH PINANG SIRIH TRADISI MASYARAKAT EMPAT LAWANG


Cara makan sirih:

  • Ambil 1 sampai 2 lembar daun sirih
  • Ambil sedikit kapur sirih, sedikit isi biji pinang yang muda, dan gambir kemudian bungkus dengan daun sirih tersebut
  • Kemudian kunyah daun sirih beserta isinya sampai hancur
  • Untuk membersihkan gigi, pakailah tembakau. 

Tertarik mencoba? Siap-siap saja merasakan sensasi pedas dan rasa pengah ketika mengunyah bahan-bahan tesebut. Akan tetapi jika sudah mencoba bersiaplah untuk ketagihan. Mudah-mudahan saja tradisi makan sirih tetap bisa dilestarikan sebagai salah satu warisan budaya.



Sumber: Lintang Dusunku

MOTTO MASYARAKAT EMPAT LAWANG

MOTTO MASYARAKAT EMPAT LAWANG


MOTTO MASYARAKAT EMPAT LAWANG

Ada beberapa kata-kata acuan atau motto yang sering didengar di kalangan masyarakat Empat Lawang. Diantaranya yaitu:

Janji betunggu, utang mayegh (Janji tunggu, hutang dibayar)

Minjam malik, besamo bebagi (Meminjam dikembalikan, bersama-sama berbagi)

Musuh jangan dicari

Penakut jangan belaghi (Penakut jangan lari)

Bilo benagh tanamkan palak tuat (Kalau benar, tanamkan lutut - Kalau benar, pertahankan)

Nedo munoh mati jadia (Tidak membunuh, mati jadi - Tetap mempertahankan keyakinan yang benar & baik apapun yang terjadi)

Seni & Budaya Daerah Empat Lawang


Seni & Budaya Daerah Empat Lawang


Ada banyak seni dan budaya di daerah Empat Lawang, namun sayang telah banyak kesenian yang tak terlihat lagi karena kaum muda lebih memilih kesenian modern dibandingkan kesenian daerah. Kebanyakan dari mereka menganggap kesenian daerah ketinggalan jaman. Padahal, kesenian daerah ini harus dilestarikan dan menjadi jati diri dari daerah serta masyarakatnya.

Seni & Budaya Daerah Empat Lawang

Berikut beberapa seni dan budaya yang ada di daerah Empat Lawang.


1. Ngurit (Guritan)


Kesenian Guritan sekarang sudah tidak ada lagi di daerah Empat Lawang. Bahkan, anak muda zaman sekarang tidak tahu dengan kesenian satu ini.

Guritan merupakan seni budaya zaman dulu yang menceritakan tentang nenek puyang, biasanya menceritakan peperangan, berebut kekuasaan, kisah kasih antara putra dan putri raja yang menggunakan kesaktian, strategi dan lain-lain. Cerita-cerita ini boleh dipercaya atau tidak, namun buktinya sampai sekarang masih ada peninggalannya, seperti: batu bersejarah di dusun batu Pance, dan ada nama Lubuk Siluman dan lain-lain. 

Kesenian Guritan ini biasanya diadakan pada acara menikahkan anak. Pihak calon istri mengundang orang yang bisa bercerita Guritan, yang menonton dan mendengar ramai sekali. Biasanya cerita Guritan ini menghabiskan waktu paling tidak 3 hingga 4 jam, bahkan terkadang dari sore hingga subuh. Biasanya orang yang bercerita ini sambil memegang Gerigek yang tidak ada isinya, sambil mengalunkan irama Lintang Empat Lawang, sambil diikuti syair, pantun-pantun yang lucu yang ada maknanya. Contoh syair yang sering di nyanyikan:

Bukan bae Simpai bebaju abang
Burung Kedubu abang pulo
Bukan bae ngindu kemambang
Cera'i bekundang kemambang pulo

2. Andai-andai


Sama halnya dengan Guritan, kesenian Andai-andai juga sudah tidak terdengar lagi di daerah Empat Lawang. Hampir sama dengan Guritan, Andai-andai ini juga merupakan kesenian bercerita, tetapi lebih ditekankan dengan khayalan. Contohnya yaitu cerita seribu satu malam, tentang cerita Abu Nawas. Kesenian Andai-andai yang lucu ini dulunya sangat disenangi oleh anak kecil, biasanya kakek atau nenek yang bercerita sebelum cucunya tidur.


3. Berejung


Kesenian berejung masih dapat ditemukan di daerah Empat Lawang, walaupun kalah dengan organ tunggal. Berejung ini identik dengan perpaduan pantun yang diiringi gitar tunggal. Biasanya irama dan syairnya menyayat hati, kiasan dan bahasanya halus, ibarat membayangkan bagaimana bujang mau menemui gadis, sambil duduk di beranda atau di anak tangga belakang rumah, di petik gitar tunggal sambil menyanyikan syair-syair yang meratap.

Berikut syair-syair yang sering terdengar:

Jak Selamo di Seleman
Gajah Tagoring kayek Timbuk
Jak Selamo Linjang ngan dengan
Ado Sebulan nedo benyawo

Nak Kayek ayam papilu
Dang ngerham telhro o duo
Kapo dengan nak balik kami milu
Tinggal sug'rha nemak asonyo

Kedalak kedali dali
Burung tiung belago tigo
Amon galak kebilo agi
Nunggu setaun la lamo igo

Ketapang kayu nyeraye
Gadis nyemulung ngambin ayek
Ngelombang la lemak bae
Nga gai rupu'an nani balik

4. Bajidur (Nabuh Jidur)


Bajidur atau nabuh jidur ini dilakukan oleh suatu group kesenian jidur yang terdiri dari 6 orang bujang (sedikit mirip dengan Tanjidor). Satu orang menabuh jidur, dua orang menabuh ketipung, satu orang memainkan gong, dan dua orang bedanah.

Pada umumnya kesenian ini disaksikan para bujang dan orang tua, dengan duduk melingkar di ruang tengah di dalam rumah, juga disaksikan oleh gadis-gadis dengan cara mengintip dari ruang belakang, sambil menyiapkan makanan-makanan kecil untuk orang yang bajidur tersebut.

Kesenian ini biasanya dilaksanakan seminggu sebelum perayaan pesta pernikahan berlangsung. Dilakukan pada malam hari sebagai pertanda bahwa seorang warga akan mempunyai hajat merayakan pesta perkawinan anaknya, dimana harinya sudah ditentukan dengan mengumpulkan sanak keluarga, sahabat dan kenalan dekat untuk mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk hari pesta nanti.

Dalam pelaksanaan Bajidur ini, si penabuh Jidur mendendangkan lagu-lagu beriramakan qosidah dengan mengunakan syair jenaka, sindiran-sindiran pantun seperti syair berejung. Setelah beberapa bait syair diiramakan, maka diikuti oleh 2 orang penabuh ketipung dan 1 orang pemukul gong dan dilengkapi dengan 2 orang bedanah yang lenggak lenggoknya sesuai dengan irama yang didendangkan.

5. Seni Tari


Empat Lawang memiliki tari daerah sendiri seperti daerah-daerah Indonesia pada umumnya. Ada banyak tari daerah Empat Lawang, diantarnya yaitu: Tari Gegerit, Tari Sanggan Sirih, Tari Piring dan Redap Kelentang.

6. Seni Bela Diri/ Kuntau


Kuntau merupakan ilmu beladiri yang dijadikan orang-orang Lintang sebagai salah satu kebudayaan Lintang, karena dulu ilmu beladiri kuntau merupakan salah satu sarana dalam mempererat tali persaudaraan, membela dan menjaga diri dari serangan musuh. 

Kuntau banyak disenangi oleh kaum muda karena dalam ilmu beladiri kuntau, selain mendapat teknik-teknik menyerang, menangkis dalam melumpuhkan musuh juga mendapatkan amalan-amalan ilmu tenaga dalam yaitu ilmu meringankan tubuh seperti berdiri diatas daun dan berjalan diatas air pada saat menyeberangi sungai, ilmu menghilang (Silam) seperti pada saat terdesak dalam menghadapi banyak musuh dalam sekejap dapat menghilangkan diri dari kepungan musuh, ilmu kebal berupa kebal senjata api, kebal senjata tajam, kebal tembung batu, selain itu ilmu sambut angin yaitu menangkap dan melumpuhkan musuh secepat angin. Contoh salah satu amalan kuntau yaitu Waman Takun Birrosullah, Nusro Tuhul Intal Tuhul, Kosdu Fi Ajamiha Tajum, amalan ini digunakan untuk menghindari diri dari serangan musuh, baik yang halus (gaib) maupun yang kasar (nyata).

Merawat Tradisi Sedekah Serabi di Daerah Empat Lawang


Merawat Tradisi Sedekah Serabi di Daerah Empat Lawang


Suku Lintang di Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan memiliki tradisi unik dalam memenuhi nazar, yakni dengan mengadakan Sedekah Serabi. 

Dalam pelaksanaan tradisi itu, prosesnya sama seperti kenduri yang berisi doa-doa.

Masyarakat menyebutnya Sedekah Serabi karena pelaksanaan kenduri atau sedekahan tersebut mengutamakan serabi sebagai makanan utamanya, dengan makanan pendamping berupa pisang goreng, kerupuk ubi merah, bolu, agar-agar, dan kecepol (sejenis roti goreng).

Merawat Tradisi Sedekah Serabi di Daerah Empat Lawang

Sedekah Serabi diyakini sudah ada sejak zaman nenek moyang Suku Lintang, jauh sebelum agama Islam berkembang dan menjadi mayoritas pemeluk di Kabupaten Empat Lawang. Namun menurut  salah seorang mantan Kepala Desa Simpang Perigi, Rozali, sejak tahun 1980-an tradisi ini mulai jarang dilakukan masyarakat, jika pun ada hanya beberapa desa saja yang masih mengadakannya.

Suku Lintang merupakan bagian dari jalinan Batang Hari Sembilan Sumatera Bagian Selatan. Pada masa lampau masyarakat Empat Lawang juga menganut kepercayaan animisme yang percaya kepada kekuatan roh puyang (leluhur) serta dianggap masih dapat melindungi anak cucunya walau sudah meninggal dunia.

Ketika ada Sedekah Serabi, tuan rumah atau pemilik hajat akan menyilap (membakar) kemenyan sebagai media berkomunikasi dengan puyang. Budayawan Sumsel sekaligus Direktur Lembaga Budaya Komunitas Batangari Sembilan, Vebri Al-lintani, menyebutkan jika sembari mengepulkan asap kemenyan, yang punya hajatan menyampaikan nazarnya kepada puyang, jika nazarnya terkabul maka Sedekah Serabi lagi.

Masyarakat percaya membayar nazar adalah kewajiban. Jika tidak dilaksanakan, hal itu khawatir akan terkena keparat atau kualat.

Setelah masyarakat Empat Lawang secara penuh menjalankan atau menganut agama Islam, Sedekah Serabi masih dilaksanakan. Namun, permohonan kepada puyang digantikan dengan doa-doa kepada Allah SWT.

Lazimnya, Sedekah Serabi dilaksanakan pada malam Jumat sehabis shalat maghrib. Malam Jumat dipercaya sebagai waktu kembalinya roh puyang ke rumah untuk menjenguk anak cucunya.

Sementara itu, menurut keyakinan Islam, malam Jumat merupakan waktu yang baik untuk berdoa dan bersyukur. Oleh karena itu, Sedekah Serabi saat sebelum maupun setelah masa Islam, tetap dilaksanakan pada malam Jumat.

Intinya tujuan Sedekah Serabi adalah bermohon (membuat nazar) dan bersyukur atau membayar nazar dengan bersedekah atau mengajak sanak kerabat makan bersama, kebanyakan nazar warga karena kesembuhan anak atau lulusnya anak jadi ASN (Aparatur Sipil Negara).

Serabi di Kabupaten Empat Lawang umumnya terdiri atas beberapa jenis, seperti serabi 44, serabi baghi, serabi baru, atau kidak, dan serabi biasa.

Ada dua jenis serabi yang kerap dihadirkan saat sedekah, yakni serabi belangan atau serabi 44 dan serabi biasa.

Serabi 44 berbentuk bulat lempeng, berwarna putih dengan ukuran sekitar diameter 10 cm dan lebih besar dari ukuran serabi biasa, disebut serabi 44 karena jumlahnya 44 saat dihidangkan, sedangkan serabi lain yang sudah dicampur dengan kuah santan bentuknya juga bulat lempeng dengan ukuran sekitar lima centimeter.

Serabi 44 tidak langsung dicampur dalam kuah, tetapi ditaruh di tengah piring, serabi biasa disusun mengelilingi serabi 44, serabi 44 khusus dibagikan sedikit-sedikit kepada para sesepuh atau para tetua masyarakat, sedangkan serabi biasa untuk konsumsi umum.

Serabi terbuat dari bahan tepung beras dengan sedikit kapur makan. Bahan-bahan dicampur air panas dan dingin, diaduk serta dibentuk sesuai selera, misalnya bentuk lupis atau lempeng.

Untuk kuah serabi berbahan santan ditambahkan gula merah dan gula putih sebagai pemanis. Berbeda dengan membuat kuah santan umumnya, kuah santan kelapa untuk serabi dimasukkan ke dalam adonan kuah ketika air sudah mendidih. Akan lebih sedap jika kuahnya dicampurkan durian.

Budaya Melayu erat kaitannya dengan pantun, angka empat tersebut memiliki kesamaan bunyi (rima) tepat, empat-empat artinya tepat-tepat, tepat bernazar dan tepat juga dalam membayar nazar, sedangkan warna putih pada serabi melambangkan kesucian dan rasa manis melambangkan keindahan.

Sedekah Serabi merupakan warisan budaya yang mengandung nilai luhur berupa ketakwaan kepada Allah dan bersyukur apabila sudah dikabulkan permintaannya, berbagi rezeki pada sesama, bersilaturahim dengan kerabat, dan menanamkan sikap kegotongroyongan.

Saat ini Sedekah Serabi terancam punah karena kian jarang ditemui, sehingga Pemkab Empat Lawang perlu memikirkan cara bagaimana pelestarian Sedekah Serabi.

Pemkab Empat Lawang perlu mengangkat tradisi Sedekah Serabi sebagai kegiatan resmi di pemerintahan daerah itu, seperti saat ulang tahun atau peringatan hari-hari besar pemerintah, baik di tingkat kabupaten maupun tingkat kelurahan.

Jika hal tersebut terealisasi, pelestarian nilai tradisi akan tetap bertahan dan peristiwa Sedekah Serabi menjadi aset bagi pengembangan sektor kepariwisataan.

Hal yang perlu diperhatikan juga, terkait dengan rasa, bentuk, dan cara menyajikan serabi, sehingga Sedekah Serabi akan diminati banyak orang serta membantu promosi serabi sebagai makanan khas Empat Lawang.

Agar lebih meriah, tradisi Sedekah Serabi dapat dikolaborasikan dengan pergelaran kesenian tradisional, seperti jidur, rejung, tari tarian, atraksi kuntau (pencak silat yang berkembang di Empat Lawang), dan kesenian tradisional lainnya.


Sumber: Febri Irwansyah (Antara News)

Sejarah Asal Usul Lintang Empat Lawang


Sejarah Asal Usul Lintang Empat Lawang

Sejarah Asal Usul Lintang Empat Lawang
Peta Empat Lawang

Sudah  tak  terbilang  jumlahnya  yang menuliskan sejarah Empat Lawang, namun dari  tulisan pertama  dengan yang lainnya tidak ada yang sama. Hal ini menimbulkan pertanyaan mana yang benar adanya.

Salah satu sejarah asal usul Lintang Empat Lawang yang dapat diyakini kebenarannya yaitu yang berasal dari dokumen lama serta informasi atau cerita turun temurun dari keturunan pangeran yang berkuasa di Empat Lawang.
                                                                            
Adapun dokumen kuno yang menjelaskan sejarah asal usul Lintang Empat Lawang tersebut disalin oleh Pangeran H. Abu Bakar Bin H. Yen, lahir pada tahun 1854 dan meninggal tahun 1980. Beliau merupakan pangeran ke 12 yang berkuasa di daerah Empat Lawang setelah berdirinya kerajaan Sriwijaya.
                                                                           

Penjelasan Istilah / Kata


Lintang Empat Lawang (4 Lawang,  terdiri  dari dua kata Lintang dan Empat Lawang (kata Majemuk). Lintang berasal dari kata lantang yang mempunyai arti menurut sejarah adalah tegas, kuat, berani dan sakti. Kelantangan ini dimiliki oleh penjaga-penjaga lawang yang terdiri dari empat lawang dari seluruh daerah Lintang. Sedangkan Lawang sendiri bermakna sebagai pintu. Jadi, Empat Lawang berarti Empat Pintu.

Empat Lawang


1. Lawang Satu (1)


Pada tahun 711 datang dari daratan Saudi Arabia 6 orang lelaki dan 1 orang perempuan yang berasal dari daerah India ke daerah sekitar desa Tanjung Raya sekarang, mereka tinggal disana dan mendirikan pemukiman di pinggiran sungai musi dan air Lintang sekarang ini. Lama kelamaan dengan bertambahnya penduduk, baik yang datang dari daratan Asia maupun dari wilayah Indonesia sendiri, mereka memerlukan yang mengatur dan yang memimpin daerah di sana terutama terhadap ancaman keamanan dari luar daerah.

Maka, pada tahun  
716  mereka mendirikan wilayah Lawang 1 dengan penjaga lawang (Batu Belawang hilir Desa Tanjung Raya) yaitu Muhammad Abdullah dengan julukan Jantan Mata Api. Penjaga Lawang 1 ini diyakini memiliki kesaktian apabila ia marah maka dari matanya keluar percikan api. Daerah Lawang 1 ini dipimpin oleh Ugau Sakti. 

Lama kelamaan daerah yang masuk kewilayah pimpinan Ugau Sakti makin luas, dan dengan demikian penjagaan pintu masuk (Sungai Musi arah hilir) dipindahkan ke Pangkalan Bukit Tinggi (daerah Tebing Tinggi sekarang), dijaga oleh seorang laki-laki yang dikenal sebagai Keluang sakti dan seorang perempuan bernama Jeneng Selendang Merah.

Pada tahun 1012, Pertahanan Pangkalan Bukit Tinggi disebut Pertahanan Bukit Timbun Tulang. Hal ini dikarenakan, jika ada yang berniat masuk ke daerah kekuasaan Ugau Sakti, namun para penjaga meragukan maksud dan tujuannya akan tamatlah riwayatnya yang menyebabkan bertimbunnya tulang -tulang.

Pada tahun 1514, Pertahanan Bukit Timbun Tulang diberi gelar Kejatan Bukit Tinggi dan pada tahun 1802 menjadi Kejatan Musi Ilir Tebing Tinggi.

Asal Usul Lintang Empat Lawang
Sungai Lintang atau Ayek Lintang. Jalur transportasi zaman dahulu

2. Lawang Dua (2)


Untuk menjaga pintu masuk ke wilayah daerah yang dipimpin Ugau Sakti dengan menyebarnya pemukiman yang mendiami aliran sungai Lintang, diperlukan penjagaan yang hendak masuk dari hulu sungai lintang, maka dibuatlah pertahanan (pos) yang disebut Lawang Dua (2).

Lawang 2 ini terletak di daerah Desa Sawah sekarang, bernama Bukit Campang Belawang yang dijaga oleh Sulaiman dengan nama panggilan Macan Kumbang serta julukan Bujang Telunjuk Emas. Kemudian hari Sulaiman menjadi pemimpin daerah di sana dengan gelar raja Gimpalan Sakti (membuat senjata dengan telunjuk dan ibu jari). Hingga sekarang, terdapat peninggalan raja Gimpalan Sakti berupa Gimpalan Sawah.

3. Lawang Tiga  (3)


Pimpinan Lawang 1, Ugau Sakti dan pemimpin Lawang 2, Gimpalan Sakti berembuk bagaimana untuk menjaga daerah Lintang dari arus sungai Musi sebelah hulu, akhirnya mereka memutuskan untuk mendirikan pos penjagaan. Maka didirikanlah  pos penjagaan atau pertahanan di bukit Tumbak Rajang (sekarang Raflesia)  dengan penjaga Lawangnya bernama Betok Wajadi yang memiliki nama panggilan Jago Goreng alias Tokek.

Sedangkan, pimpinan wilayah ini diserahkan kepada Raden Rambut Selaka yang merupakan adik kandung dari Gimpalan Sakti. Diantara pemimpin Lawang 3 ini ada yang bernama Riu Bajau, berdomisili di daerah Lubuk Puding sekarang.

4. Lawang Empat (4)


Arus sungai Musi sebelah hilir dan sebelah hulu sungai serta arus sungai yang sekarang bernama air Lintang sudah ada pos penjagaan / pertahanan, tinggal yang masih kosong arus sungai yang sekarang bernama air Lintang Kiri. Untuk itu, maka dibuatlah pos pertahanan 4 (Lawang 4) di bukit Siaga Tidur dengan penjaga pos pertahanan bernama Lidah Api. Sedangkan pusat pertahanan  berada di daerah Muara Danau sekarang, dengan pimpinan bernama Suib Akbak dengan gelar Jalak Jambul. Di Lawang 4 ini, juga ada diantara pimpinannya bernama Tapak Sakti.

Demikian sejarah ringkas daerah Lintang 4 Lawang sebelum berdirinya kerajaan Sriwijaya. Perlu kita ketahui bahwa pada zaman dahulu transportasi ada di sungai-sungai, dengan menggunakan alat transportasi Lanting, Rakit atau Jung. 


by:Slt

Batu Sembahyangan dan Batu Jelapang, Peninggalan Sejarah Empat Lawang


Batu Sembahyangan dan Batu Jelapang, Peninggalan Sejarah Empat Lawang


Sebuah batu berbentuk unik dengan ukuran Lebar sekitar 6,6 meter, panjang sekitar 5, 9 meter dan tinggi sekitar 1,65 meter yang berada di Kecamatan Pasemah Air Keruh (Paiker) tepatnya di Desa Talang Padang, disebut-sebut sebagai benda peninggalan bersejarah asli masyarakat Kabupaten Empat Lawang.

Hal tersebut diakui langsung oleh Camat Paiker Kabupaten Empat Lawang H. Indera Supawi, S.E, M.Si, Ia mengatakan batu yang dinamakan Batu Sembahyangan dan Batu Jelapang memang bernilai sejarah tinggi untuk Kabupaten Empat Lawang, menurut ceritanya adalah batu tersebut tempat persinggahan, peristirahatan dan sholat dari Nenek Moyang atau lebih dikenal masyarakat dengan sebutan Nek Puyang Kedung Sakti Besemah Besak.

Batu Sembahyangan dan Batu Jelapang, Peninggalan Sejarah Empat Lawang

Dikatakan Supawi, sejak Ia masih kecil sudah mengetahui tentang cerita batu sembahyang tersebut. Diuraikannya secara rinci, dahulu kawasan Pasemah Air Keruh dikuasai Puyang Suku Rejang dan kemudian dikuasai oleh Puyang Kedung Sakti dari suku Besemah Besak.

“Masih nampak di atas batu tersebut bekas telapak kaki puyang kedung sakti. Kalau batu jelapang, baru sekarang saya tahu dari cerita masyarakat. Masyarakat sudah banyak yang mengetahui bahwa batu-batu tersebut bernilai sejarah dan bukan batu sembarangan atau keramat,” ungkapnya.

Bahkan dahulunya pula batu-batu tersebut sempat dijadikan masyarakat sebagai tempat tarak atau semedi. Oleh sebab itu pula Ia menuturkan sebagai pemerintah di daerah setempat dan putera asli daerah, Ia merasa terpanggil untuk mengangkat cerita batu-batu tersebut agar Dinas terkait di Kabupaten Empat Lawang dapat melestarikan batu tersebut, terlebih dapat dijadikan sebagai objek wisata.

Supawi berharap agar dinas maupun pihak terkait dapat meneliti dan mengkaji keberadaan batu-batu tersebut sehingga dapat dicatat sebagai sejarah perjalanan kehidupan manusia terutama di kawasan Kabupaten Empat Lawang.

“ Disamping itu pula dari keberadaan batu-batu tersebut itu masyarakat akan mengetahui bahwa sejak dulu masyarakat Besemah Besak pada umumnya dan Pasemah Air Keruh Khususnya sudah mempunyai peradaban yg tinggi,” pungkasnya

Lebih lanjut Supawi mengungkapkan, gunan mempromosikan Batu Sembahyangan dan Jelapang ini agar diketahui masyarakat Ia telah mengekspose informasi ini melalui pesan singkat whatsapp hingga grup yang ada Bupati Kabupaten Empat Lawang.

“Mereka akan berencana kesini untuk meneliti bersama Dinas Pariwisata dan dinas pendidikan Kabupaten Empat Lawang termasuk arkeolog juga berkenan hadir melihat langsung, kedepan batu ini akan menjadi pengetahuan wawasan generasi berikutnya dan ini akan dicatat sebagai barang bersejarah. sehingga kedepannya pantaslah untuk dijadikan kunjungan wisata disamping alam yang indah,” pungkasnya