Halaman

Menyajikan dan menerima postingan untuk/dari masyakat Empat Lawang baik yang tinggal di Empat Lawang atau yang berada di luar daerah, yang berkaitan dengan Adat Istiadat, Seni Budaya Dll.

Batu Betiang di Empat Lawang, Situs Megalitikum Tempat Sesaji untuk Roh Nenek Moyang

Di Kabupaten Empat Lawang terdapat beberapa situs megalitikum peninggalan lampau di antaranya adalah Tujuh Batu Megalit, Dolmen, Kapak Batu hinga Naskah Kuno. Salah satu situs megalitikum tersebut yang cukup mudah ditemui yang lokasinya terletak tidak jauh dari pemukiman warga yakni Dolmen atau meja batu. Dolmen secara lebih rinci merupakan meja batu tempat meletakkan sesaji yang dipersembahkan untuk roh nenek moyang di masa lampau. Di Empat Lawang terdapat sebuah dolmen tepatnya terletak di Desa Gunung Meraksa Baru, Kecamatan Pendopo letaknya pun ada di tengah-tengah kebun kopi warga. Warga lokal menyebutnya sebagai Batu Betiang. Memang secara sekilas susunan batu ini menyerupai meja dengan satu alas dan empat tiang. Untuk menuju ke dolmen Batu Betiang inipun cukup mudah cukup dengan berjalan kaki dan ataupun menggunakan kendaraan sepeda motor. Ketua Pembina Adat Kabupaten Empat Lawang Sulton Bustari yang kebetulan letak rumahnya tidak terlalu jauh dari situs megalitikum ini menyampaikan Dolmen tersebut telah diakuibdan tercatat oleh Balai Arkeologi. "Beberapa waktu lalu sudah ada peneliti yang pernah datang ke lokasi dari Balai Arkeologi Palembang dan diakui memang Batu Betiang adalah situs Dolmen," katanya saat ditemui, Jumat (28/01/2022). Ditambahkan Sulton berdasarkan keterangan dari Balai Arkelogi yang sebelumnya sempat meneliti di sana, dikatakan pada batu tersebut digunakan sebagai tempat meletakkan sesaji. "Tidak jauh dari batu betiang tersebut juga ada kumpulan batu sebanyak lima buah yang menurut para peneliti merupakan tempat beristrihat setelah meletakkan sesaji diatas dolmen," tutupnya. soerang warga yang kebetulan ada di lokasi mengatakan Batu Betiang posisinya saat ini telah agak mengalami penurunan sebab jika dulu mereka bisa masuk ke bawahnya sembari duduk sekarang tidak bisa lagi. "Saya perhatikan semakin kesini semakin turun posisinya, saya ingat dulu kita masih bisa duduk dan masuk di bawahnya sekarang sudah agak menyempit," katanya.

AD, ART Lembaga Adat Empat Lawang

ANGGARAN DASAR/ANGGARAN RUMAH TANGGA Pembina Adat Empat Lawang merupakan lembaga berasaskan Pancasila dan berpayung rasa Kekeluargaan. Pembina Adat Empat Lawangh merupakan lembaga yang betujuan untuk menggali, memelihara, membina, dan mengembangkan nilai-nilai luhur adat Empat Lawang yang pernah ada dalam sistem pemerintahan Marga dan masih dijunjung masyarakat hingga sekarang, sebagai landasan guna memperkokoh jati diri masyarakat Empat Lawang. Dalam upaya untuk menjalankan fungsi, tugas, dan tujuannya, maka Pembina Adat Empat Lawang berpedoman pada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang telah disahkan. Kita semua berharap dan berusaha agar Pembina Adat Empat Lawang terus dapat menjalankan fungsi, tugas, dan tujuannya dari masa ke masa, sehingga bersama masyarakat Empat Lawang pada umumnya akan terwujud Masyarakat Adat Empat Lawang yang maju, adil, dan sejahtera, dengan tatanan masyarakat madani dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berkepribadian kokoh membumi. Tebing Tinggi,........................ 2020 PEMBINA ADAT EMPAT LAWANG Ketua, Sekretaris, …………………………………. …………………………………. ANGGARAN DASAR PEMBINA ADAT EMPAT LAWANG MUKADDIMAH Bismillahirrahmanirahim. Bahwa Adat Istiadat Marga adalah khasanah budaya Empat Lawang yang mengandung nilai-nilai luhur dan menjadi jati diri masyarakat, tumbuh dan berkembang sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat, merupakan bagian dari rumpun Melayu, Batang Hari Sembola dalam Bangsa lndonesia. Adat Istiadat sebagai: bagian budaya manusia adalah warisan luhur yang sangat berharga yang harus dipelihara dan dibina keberlangsungannya, dalam membentuk dan mengokohkan jati diri bangsa. Merupakan tanggung jawab generasi ke generasi yang berkesinambungan untuk mengamalkan dan mengembangkan, serta mewariskan nilai-nilai luhur adat istiadat Marga bahkan budaya Empat Lawang pada umumnya, dalam suatu wadah yang disebut Pembina Adat Empat Lawang. Adat Istiadat Marga yang dijiwai oleh falsafah Kekeluargaan Adat bersendikan kerukunan. Kerukunan bersendikan kebersamaan dalam keragaman Saling Keruani Sang Kerawati, sebagaimana pilar-pilar penopang Rumah Panggung sehingga berdiri-tegak dan kokoh dari Hulu ke Hilir, bernilai simbolik dari padunya: Adat, Ulama dan Umara. BAB I NAMA KEDUDUKAN DAN WAKTU Pasal 1 Nama Pembina Adat Empat Lawang Pasal 2 Kedudukan Berkedudukan di Ibu Kota Kabupaten Empat Lawang, Tebing Tinggi. Pasal 3 Waktu Untuk jangka waktu yang tidak ditentukan. BAB II ASAS TUJUAN DAN USAHA Pasal 4 Asas Berasas Pancasila. Pelaksanaannya berlandaskan pada penghormatan norma-norma adat masyarakat. Pasal 5 Tujuan Menggali dan melestarikan Adat. Pasal 6 Usaha Mendokumentasikan, memproduksi media, memasyarakatkan dan memperjuangkan hak konstitusional masyarakat adat. BAB III STATUS DAN FUNGSI Pasal 7 Status Pembina Adat Empat Lawang adalah bentukan Pemerintah Daerah Kab. Empat Lawang Pasal 8 Fungsi Pembina Adat Empat Lawang befungsi sebagai mitra kerja Pemerintah Daerah Kabupaten Empat Lawang dalam menggali dan melestarikan, mengembangkan adat istiadat. BAB IV KEANGGOTAAN Pasal 9 Anggota Anggota Pembina Adat Empat Lawang adalah para ahli, pemerhati, dan peminat budaya Empat Lawang, terdiri dari anggota biasa, anggota luar biasa . BAB V HAK DAN KEWAJIBAN Pasal 10 Hak Anggota biasa, anggota luar biasa memperoleh hak-hak yang diatur dalam AD/ART. Pasal 11 Kewajiban Setiap anggota (anggota biasa, anggota luar biasa dan anggota ) wajib mentaati semua peraturan yang ada dalam AD/ART dan aturan lainnya. BAB V KEKUASAAN DAN KEPEMIMPINAN Pasal 12 Kekuasaan Kekuasaan tertinggi terletak pada Musyawarah Kecamatan (MUSCAM) Pasal 13 Kepemimpinan Kepemimpinan tertinggi Pembina Adat Empat Lawang ada pada Ketua Umum. BAB VI SUSUNAN ORGANISASI DAN KEPENGURUSAN Pasal 14 Susunan organisasi Pembina Adat Empat Lawang terdiri dari: Pembina, pengarah dan Pengurus. Pasal 15 Kepengurusan Masa kepengurusan Pembina Adat Empat Lawang selama 5 tahun Segala keputusan Pengurus berpedoman kepada AD/ART dan kesepakatan lainnya. BAB VIII PEMBENTUKAN PENGURUS Pasal 16 Pengurus Pembina Adat Empat Lawang adalah hasil Musyawarah Daerah ( Kecamatan ) dengan Pembentukan Formatur atau di tunjuk. Tim Formatur ditentukan dalam Musyawarah Daerah ( Kecamatan ) BAB IX ATRIBUT DAN MOTO ORGANISASI Pasal 17 Atribut Lambang/logo Pembina Adat Empat Lawang diatur dalam Anggaran Rumah Tangga (ART). Pasal 18 Moto Saling Keruani Sangi Kerawati Untuk mewujudkan " EMPAT LAWANG kokoh MADANI " BAB X KEKAYAAN ORGANISASI Pasal 19 Kekayaan Kekayaan Pembina Adat Empat Lawang diperoleh melalui APBD Empat Lawanh, hibah, donator (tidak mengikat), dan usaha-usaha yang sah. Kekayaan Pembina Adat Empat Lawang sebesar-besarnya dipergunakan untuk kelangsungan organisasi BAB Xl MUSYAWARAH, RAPAT DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN Pasal 20 Musyawarah dan Rapat Musyawarah dan Rapat terdiri dari: Musyawarah Daerah (Muscam ), Musyawarah dan rapat kerja (Raker) Hal-hal diatas akan lebih lanjut diatur dalam ART. Pasal 21 Pengambilan keputusan Pengambilan keputusan dilakukan secara musyawarah untuk mencapai mufakat dan apa bila tidak tercapai maka keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak. Musyawarah dan hasil rapat dinyatakan sah apabila dihadiri oleh 50% + 1 dan Jumlah anggota yang hadir. BAB Xll PERUBAHAN ANGGARAN DASAR Pasal 22 Perubahan Anggaran Dasar diputuskan dalam Musda yang disetujui sekurang kurangnya 50% + 1 dari jumlah anggota yang hadir. BAB XIII PENUTUP HaI-hal yang belum diatur dalam Anggaran Dasar (AD) ini akan diatur dalam Anggaran Rumah Tangga (ART). ANGGARAN RUMAH TANGGA (ART) BAB 1 KEANGGOTAAN Pasal 1 Syarat-syarat Anggota Biasa Berdomisili di wilayah Empat Lawang Anggota Luar Biasa Orang Empat Lawang Bendomisili di luar wilayah Empat Lawang BAB II HAK DAN KEWAJIBAN ANGGOTA Pasal 3 Hak Anggota Anggota berhak mengeluarkan pendapat, mengajukan usul dan saran yang membangun. Setiap anggota biasa berhak mengusulkan atau diusulkan serta dapat dipilih atau memilih sebagai pengurus dalam kepengurusan. Anggota luar biasa, berhak mengajukan pendapat, saran dan usul serta nasihat baik tertulis maupun lisan demi kepentingan organisasi. Pasal 5 Kewajiban Anggota Mentaati dan melaksanakan seluruh ketetapan AD/ART, keputusan Rapat Pengurus dan keputusan Rapat Kerja (Raker) dan semua peraturan yang berlaku. Memelihara rasa persaudaraan dan persatuan diantara anggota. Memiliki royalitas dan dedikasi yang tinggi terhadap organisasi. Menjunjung tinggi nama baik organisasi. BAB III PEMBERHENTIAN Pasal 6 Pemberhentian Anggota Pengurus berhenti: Meninggal dunia. Mengundurkan diri dengan alasan yang sah. BAB IV SUSUNAN PENGURUS Pasal 7 Penasihat, Pembina dan Pengurus Pembina adalah Bupati Empat Lawang Pengarah adalah Lembaga /Dinas yang berkaita, yang ditunjuk Bupati. Pengurus terdiri dari: Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, Wakil Sekretaris, Bendahara, Ketua-ketua Bidang, dan Anggota Perwakilan dari Kecamatan se Kabupaten Empat Lawang . Pasal 8 Kepengurusan Pengurus dalam melaksanakan kegiatan guna mencapai tujuan baik diminta, maupun tidak diminta, senantiasa menerima saran dan usul. BAB V PENASIHAT Pasal 9 Tugas dan Fungsi Tugas dan fungsi Penasihat adalah memberikan saran, usul, dan masukan kepada Pengurus baik diminta maupun tidak. BAB VI MUSYAWARAH DAERAH DAN RAPAT KERJA Pasal 10 Tugas dan Wewenang Musyawarah Memegang kekuasaan tertinggi dalam pengambilan keputusan. Membuat dan menyempurnakan AD/ART. Memilih, mengangkat dan memberhentikan keanggotaan. Pasal 11 Peserta Musyawarah Daerah Peserta MUSDA terdiri dari: Anggota Biasa, Anggota Luar Biasa. Pasal 12 Wewenang Rapat Kerja Rapat Kerja berwenang membuat keputusan berpedoman Pada AD/ART BAB VII KEKAYAAN ORGANISASI Kekayaan organisasi sepenuhnya digunakan bagi jalannya organisasi dan menjadi inventaris lembaga Pembina Adat Empat Lawang. Pasal 13 Keuangan Pendapatan atau sumbangan lain yang tidak mengikat, tidak bertentangan dengan asas dan tujuan organisasi. BAB VIII PEMILIHAN Pasal 14 Tata Can Pemilihan Tata cara pcmilihan ditetapkan dalam Musyawarah Daerah. Pasal 15 Syarat-syarat Calon Ketua Syarat-syarat Calon Ketua: Berdomisili di Empat Lawanh Memiliki kompetensi dan kapasitas sesuai dengan tujuan organisasi BAB IX ATRIBUT DAN TANDA ORGANISASI Lambang Ayat l Bentuk dan warna serta ukuran lambang akan ditetapkan dalam peraturan. Ayat 2 Hal tersebut seperti ayat 1 ini harus mencerminkan PEMBINA ADAT EMPAT LAWANG Ayat 3 Bentuk dan warna serta tata cara penggunaan seperti pada ayat 1 ditetapkan peraturan. BAB X ATURAN TAMBAHAN Pasal 16 Hal-hal yang belum diatur atau ditetapkan dalam Anggaran Rumah Tangga PEMBINA ADAT EMPAT LAWANG akan diatur dalam peraturan yang ditetapkan Oleh Pembina Adat Empat Lawang BAB XI PENUTUP Hal-hal yang belum diatur dalam Anggaran Rumah Tangga ini akan diatur dalam peraturan lainnya dan tidak boleh bertentangan dengan Anggaran Dasar.

Naskah Tertua di Empat Lawang

Naskah TertuaPuyang Rianom

Hurup Ulu

Kuburan Puyang Qedum di Empat Lawang

Raja Tiang Alam. Dari Gunung Merakso

Ekspedisi Pedalaman Palembang (Goenoeng Merakso) SETELAH menaklukan Kesultanan Palembang pada Tahun 1821, Belanda mengirim ekspedisi-ekspedisi tentaranya ke pedalaman, dalam rangka menanamkan dan memperluas kekuasaan setelah Sultan Palembang menyerah. Setelah dapat memadamkan perlawanan-perlawanan di daerah Lematang, dan setelah bermingu-minggu lamanya serta menderita korban yang besar dapat menguasai benteng di dusun-dusun, ekspedisi Belanda bergerak ke daerah Kikim. Disinipun belanda mendapat hambatan perlawanan yang kuat, akhirnya setelah daerah Kikim dapat mereka amankan, dan setelah dapat tambahan tenaga-tenaga baru dari Palembang, Belanda dapat maju dan mendirikan benteng di Tebing Tinggi. Tebing Tinggi pada waktu itu adalah kota kecil yang sangat strategis sekali bagi Belanda. Dari Tebing Tinggi dapat bergerak kearah Lubuk Linggau, Rawas, juga ke daerah Lintang 4 Lawang untuk seterusnya dapat menuju Tanah Pasemah. Kalau di daerah-daerah lain belanda mendirikan kampemen-kampemen ( benteng-benteng ) dari kayu-kayu, tapi di Tebing Tinggi kampemen mereka, berupa bangunan-bangunan yang permanen dengan dikelilingi parit-parit yang dalam. Dengan berpusat di Tebing Tinggi inilah belanda hendak menaklukan 4 Lawang. Kekuatan penentang belanda ini berpusat di Gunung Meraksa. Dusun Gunung Meraksa yang diapit oleh sungai Lintang Kiri dan sungai Lintang Kanan berada di ketinggian yang dikelilingi oleh tebing-tebing terjal. Dibelakang tebing-tebing ini terdapat pula hutan aur duri ( bambu berduri ) yang tumbuh berlapis-lapis. Hanya penduduk dusun saja yang tahu dan dapat melalui jalan setapak yang berliku-liku untuk bisa keluar dari dusun untuk berpergian ke tempat lain. Maka tidak heran dalam ekspedisi pertama Belanda pada Tahun 1845 gagal merebut benteng Gunung Meraksa. Mereka terpaksa kembali ke Tebing Tinggi dengan menderita korban yang besar. Malahan sewaktu mereka mudur melalui jalan dipinggir Sungai Musi masih juga ditempat-tempat tertentu mendapat serangan-serangan. Pada bulan Juli Tahun 1851 kembali belanda melancarkan serangan yang kedua, dilakukan dengan kekuatan yang lebih besar dipimpin Letnan Kolonel de Brauw. Letnan Kolonel de Brauw ini terkenal sebagai penakluk daerah Banten, yang menurut belanda sebagai pahlawan Djagaraga dan sengaja didatangkan ke Palembang, untuk menundukan daerah Lintang 4 Lawang. Tentara Belanda yang berpengalaman dalam perang Jati ditarik dari Lahat dan digabung dengan tentara yang sudah di Tebing Tinggi. Belanda berpendapat, karena Benteng Jati ada persamaan dengan Benteng Gunung Meraksa, yaitu diperkuat dengan parit-parit perlindungan serta dikelilingi dengan aur duri berlapis-lapis yang sukar ditembus. Pengalaman Belanda dalam perang Jati, ialah menggunakan meriam-meriam dengan peluru-peluru api yang dapat membakar kampung-kampung. Meriam-meriam inilah dengan prajurit-prajurit yang berpengalaman dikumpulkan dalam persiapan menaklukan daerah 4 Lawang dengan Gunung Meraksa sebagai pusatnya. Mereka bergerak dengan kekuatan lima perwira, 260 prajurit invanteri 4 buah mortir, 8 meriam dibantu satu armada lima ratus orang kuli paksa orang Indonesia sebagai pembawa barang-barang. Berangkat dari Tebing Tinggi dengan menyusuri pinggir sungai ke hulu Musi rombongan tentara Belanda menuju ke dusun Ulak Mengkudu sejauh 16 km dari Tebing Tinggi . Mereka berhenti di Desa ini untuk membuat jembatan dari bambo guna dapat menyeberangan tentara dengan alat-alatnya yang begitu banyak. Selain persenjataan berupa meriam-meriam, pelor-pelor, juga beras-beras dan sebagainya, perlengkapan memasak dan lain-lain pun banyak sekali. Perhitungan mereka ekspedisi ini akan memakan waktu kira –kira selama tiga bulan. Pantas saja barang-barang yang dibawa begitu banyak. Memang tersedia bambu-bambu banyak sekali di daerah itu, sehingga dalam tiga hari saja penyeberangan dapat mereka lakukan dengan berhasil baik . Dengan menempuh perjalanan yang berat berupa medan yang berbukit-bukit yang tinggi , tebing-tebing yang terjal serta lembah yang dalam-dalam dan hutan yang lebat, selama empat hari, tentara Belanda ini dapat tiba di tujuan. Pada ekspedisi mereka yang pertama kali dahulu, mereka serang Gunung Meraksa secara frontal dan tidak menghasilkan apa-apa, malahan menderita kekalahan. Mereka mengerahkan kuli-kuli mencoba menembus pertahanan aur duri dengan memotong batang-batang bambu yang sangat keras dan sangat padat dengan parang-parang. Di belakang kuli-kuli, tentara Belanda melindungi mereka. Mula-mula ada kemajuan dengan dapat memotong dan merobohkan rumpun demi rumpun bambu, tapi pekerjaa ini sia-sia belaka. Pisau atau parang yang dipakai cepat sekali menjadi tumpul, penyerangan menjadi lamban dan pejuang-pejuang yang tak terlihat dari benteng dapat lelasa menembaki tentara Belanda yang mengawal, dan menimbulkan korban di pihak Belanda. Akhirnya setelah berusaha selama beberapa hari dengan cara usaha ini dihentikan. Selama dua minggu mereka berusaha menaklukan benteng, dan tidak memberikan hasil. Pada hari ke-enam belas mereka meninggalkan medan pertempuran dan kembali ke Tebing Tinggi. Dengan pengalaman penyerangan pertama yang gagal, mereka lalu memakai strategi yang telah memberikan hasil seperti di perang Jati. Mereka kepung benteng Gunung Meraksa dengan rapat sehingga tidak ada yang dapat masuk atau keluar. Pengepungan ini dapat mereka lakukan karena jumlah anggota tentara yang cukup banyak. Sementara pengepungan, meriam-meriam mereka terus menembaki dusun dengan peluru-peluru api. Memang terjadi kebakaran- kebakaran, tapi tetap benteng tidak menyerah. Kuli-kuli yang tidak bertugas, mereka kerahkan untuk terus memotong bambu-bambu pertahanan. Rencana Belanda adalah hendak memaksa benteng menyerah karena kekurangan makan dan air. Kebutuhan air untuk benteng sebelum dikepung, merejka ambil dari sungai yang berada di luar, di ayiek Lintang. Karena tak sabar, Belanda beberapa kali menyerbu serentak, dari berbagai penjuru benteng, namun dapat dipukul mundur dengan korban besar. Kuli-kuli yang dengan rasa takut dipaksa memotong bambu-bambu berduri banyak yang tewas kena tembak dari tempat-tempat tersembunyi. Yang kena ranjaupun banyak. Akhirnya Belanda menyadari hanya dengan cara membuat penduduk kelaparan dan kekurangan air, yang memaksa benteng untuk menyerah. Memang di dalam benteng sendiri persediaan bahan makanan sudah sangat menipis setelah mengepungan berjalan hampir satu bulan. Beras tinggal sedikit, sapi tinggal beberapa ekor, dan mendatangkan dari luar benteng sungguh tak mungkin karena semua jalan keluar tertutup rapat oleh Belanda. Akhirnya benteng menyerah dan Belanda mematuhi syarat untuk tidak membakar desa Gunung Meraksa, seperti yang biasa meraka lakukan di tempat-tempat lain. Perlawanan / Perang Gunung Merakso ini dipimpin oleh Radja Tiang Alam (Masiun) bin Jemuddin bin Ali Hanafiah bin Zainuddin. yang mati matian berperang dengan belanda. Cerito ini ditulis dalam laporan Expedisi Belanda ke Palembang (Gunung Merakso) 1812-1889, Laporan itu ditujukan kepada Ratu Belanda. Disitu dengan jelas dituliskan ada dua perang hebat yg banyak menghabiskan tentara dan logistik Belanda, perang dalam menumpas Sultan Palembang. dan perang dalam menumpas Radja Tiang Alam Gunung Meraksa. Tahun 1856 Gunung meraksa ditaklukkan Belanda, Radja Tiang Alam ditangkap. dibawa ke Palembang lalu di adili di Batavia, dan Tahun 1858 Radja Tiang Alam diasingkan ke Salatiga, Jawa Tengah. Sementara itu , Menke de Groot menuliskan kisah mengenai ekspedisi ke Palembangs Bovenlanden (Pedalaman Palembang/Goenoeng Merakso ) merupakan ekspedisi hukuman dari Tentara Kerajaan Hindia Belanda ke Palembang di Sumatra (1851-1859) untuk menghilangkan gangguan di pedalaman Palembang, bahkan setelah ekspedisi ke Palembang pada 1819 dan 1921 masih selalu ada ketegangan di pedalaman Palembang. Salah satu kesalahan Pemerintah Hindia Belanda adalah pemerintah gagal menghormati otoritasnya, tetapi membiarkan penduduk yang cinta damai dirampok oleh kelompok –kelompok militan dari tempat lain, tanpa menghukum yang bersalah. Hasilnya adalah bahwa penduduk tidak hanya kehilangan kepercayaan pada kekuatan pemerintah, tetapi juga ada penduduk yang bergabung dengan negara-negara perampok untuk mendapatkan bagian dari hasil curian dan perampokan. Pada tahun 1828 Kranga Wira Lentika, kepala Lematang, telah dibalas dendam oleh para orang-orang Passum; orang-orang ini melintasi perbatasan dan bahkan mendekati kota Palembang. Pada tahun 1830 sebuah pemberontakan pecah di Lobo-Poeding sebagai akibat dari peningkatan harga sewa tanah. Pada 1835 pasukan Belanda kepung di Kaban selama lebih dari 40 hari; berulang kali permusuhan terjadi di mana-mana di wilayah-wilayah ini; pada tahun 1841 dan pada tahun 1842 malah beberapa tentara Eropa dibunuh dan akhirnya pos Belanda diserang di Moeara-Klingie; namun tidak satu pun dari para pelaku gangguan ini dihukum sehingga tidak ada rasa hormat sedikit pun terhadap pemerintah dan tindakan orang jahat ini meningkat ketika pemerintah menunjukkan ketidakberdayaan yang lebih besar. Gubernur Palembang, pangerang Krawa Djaje, memicu kerusuhan lebih jauh. Alih-alih bertindak dalam semangat pemerintah, penduduk semakin ditekan oleh dia, sehingga pajak tanah menjadi beban penduduk, jauh lebih besar daripada pajak yang sebelumnya dikenakan oleh sultan. Dia tahu begitu banyak pengaruh sehingga dia bisa memicu pemberontak rakyat setiap saat, yang sangat membenci pemerintah sehingga perlu bertindak dengan paksa melalui pemerintah. Ekspedisi Populasi Ampat Lawang, bagian dari asisten residensi Tebing-Tinggi, residensi Palembang, berulang kali terjadi pemberontak dan semangat perlawanan telah menjadi begitu luas bahwa pada tahun 1850 .Bukan permusuhan dari penaklukan menang. Ketika Letnan Kolonel De Brauw ke komandan penduduk dan sipil-militer dari Palembang ditunjuk ia mendengar bahwa pajak tanah tidak diterapkan, akibatnya komandan divisi Goenong-Maraksa tersinggung dan lagi beberapa tentara tewas oleh penduduk Lintang-Kiri . De Brauw melakukan upaya untuk menundukkan Tiang-Alam, tetapi penduduk telah memperkuat diri di Oedjong-Ali; komandan, di bawah komando Kapten C. Meijer, sekarang diperintahkan untuk maju ke Oedjong-Ali. Sepanjang jalan ada pertempuran terus-menerus dengan para pemberontak dan dengan Goenong-Maraksa pasukan itu ditunggu oleh seribu musuh bersenjata berat. Walaupun berhasil melarikan diri dari musuh, tetapi karena kurangnya pasukan di daerah yang memberontak, mereka tidak dapat melakukan apa-apa kecuali mundur ke Tebing-Tinggi. Sebuah ekspedisi harus dikirim ke Ampat-Lawang sekarang karena di sana juga dan di Lematang-Ulau ada pemberontakan; Gubernur sekarang dipecat dan dipindahkan ke Batavia, tetapi masih diperlukan ekspedisi baru. Lematang Ulu bukan satu-satunya kabupaten yang memberontak, bahkan di Kikim, Moesie-Uluw dan Ampat-Lawang, dan tidak kurang dari 20 marga yang mengancam melakukan pemberontakan. Sekarang ada perkelahian tajam yang mengarah pada hasil yang diinginkan: ketika Residen meninggalkan Brauw, Palembang, Tebing-Tinggi, Labat, dan Moeara-Klingie dikelilingi oleh musuh dan terputus dari luar oleh benturan komunikasi; 26 distrik mengalami pemberontakan total dan para pemberontak muncul di dekat ibu kota; Setelah tindakan ofensif pemerintah, orang-orang telah maju sejauh ini sehingga kontak antara benteng-benteng telah saling dipulihkan, para pemberontak dipukul mundur ke mana-mana dan penduduk di Ampat-Lawang mulai kembali ke wilayahnya. Sementara itu, di garnisun Tebing-Tinggi, penyakit menular menjadi wabah yang menelan korban 150 orang dan itu perlu untuk mengirim pasukan baru. Pada awal 1852 ekspedisi yang sebenarnya ke Ampat-Lawang akan berlangsung. Sebelum permulaan tahun 1853 semua pemberontak menjadi sasaran; di tahun-tahun berikutnya, pemberontakan kecil akan terus-menerus harus dibendung, dan hingga 1859, pasukan harus dikirim beberapa kali untuk menekan pemberontakan yang membara.#osk Sumber : 1. Nederlandsekrijgsmacht.nl 2. kuris.wordpress.com 3. 1900. W.A. Terwogt. Het land van Jan Pieterszoon Coen. Geschiedenis van de Nederlanders in oost-Indië. P. Geerts. Hoorn 4. 1900. G. Kepper. Wapenfeiten van het Nederlands Indische Leger; 1816-1900. M.M. Cuvee, Den Haag. 5. 1876. A.J.A. Gerlach. Nederlandse heldenfeiten in Oost Indë. Drie delen. Gebroeders Belinfante, Den Haag

Empat Kelemahan RUU Masyarakat Adat.

RUU Masyarakat Hukum Adat meneruskan syarat pengakuan legalitas sebelum negara mengakui penduduk adat memiliki hak yang sama dengan warga negara lain. Empat kelemahan RUU Masyarakat ada yang berpotensi menjauhkan tujuan melindungi mereka. SEORANG aktivis hak-hak perempuan dan hak penduduk asli Amerika, Lydia Maria Child (1802-1880) pernah mengatakan, “Hukum bukanlah hukum jika melanggar prinsip keadilan.” Law is not law, if it violates the principles of eternal justice. Kalimat itu akan terasa sesuai jika kita membaca Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat pada draf 4 September 2020. Rancangan itu, yang diajukan sejak 2009, tampak hanya mewadahi prosedur administrasi pengakuan masyarakat hukum adat ketimbang meluruskan hak-hak warga negara yang selama ini diperlakukan tidak adil. Rancangan itu terdiri dari 17 bab dan 58 pasal. Sebanyak 20 pasal di antaranya telah mendapat masukan perubahan melalui rapat Panitia Kerja DPR maupun dari rapat dengar pendapat dengan pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, seperti tertuang dalam laporan Ketua Panja DPR kepada pimpinan dan anggota Badan Legislasi, 4 September 2020. Dalam penjelasan umum ada keterangan bahwa kedudukan masyarakat hukum adat selama ini rentan secara ekonomi, hukum, sosial budaya, maupun hak asasi manusia. Akibat marginalisasi, masyarakat adat juga sering kali mengalami konflik internal maupun dengan pihak lain. Selain itu ada benturan ketika hukum adat dihadapkan dengan hukum positif. Sebelum mendapatkan perlindungan menjalankan hak-haknya, negara terlebih dahulu mesti mengakuinya melalui proses legalitas formal. Pengakuan dilakukan oleh suatu kepanitiaan yang akan mengidentifikasi, memverifikasi, dan memvalidasi keberadaan mereka berdasarkan karakteristik yang telah ditentukan dalam RUU itu. Mereka sah sebagai masyarakat adat yang diatur hak-haknya oleh negara jika sudah mendapat surat pengakuan resmi dari pejabat setingkat menteri. Karena itu, ada beberapa hal yang lemah dalam RUU ini: Pertama, secara umum ruang hidup masyarakat hukum adat kini sudah berbenturan dengan berbagai penggunaan dan pemanfaat sumber daya alam yang izinnya diatur oleh undang-udang lain yang sudah berlaku. Hal itu berarti masyarakat adat telah ditempatkan di barisan belakang dan tidak mendapat pelayanan setara dengan kelompok masyarakat lainnya. Maka, menempatkan perlindungan masyarakat hukum adat setelah proses pengakuan hanya akan melanggengkan posisi mereka tetap di barisan belakang. RUU ini semestinya memastikan apa yang segera harus dilakukan negara untuk melindungi mereka—terlepas ada atau tidak pengakuan legal atas keberadaannya—dari benturan dengan korporasi yang akan menggusur ruang hidup mereka. Status wilayah adat indikatif semestinya menjadi instrumen melindungi masyarakat hukum adat. Mari bandingkan dengan “penunjukan” kawasan hutan negara, yang mendapatkan perlindungan hukum positif kendati pejabat negara setingkat menteri belum mengakui dan mengesahkannya. Ketika RUU itu tidak bisa memastikan tenggat proses identifikasi, verifikasi, dan validasi serta penetapan legalitas masyarakat hukum adat, mereka akan selalu berada di belakang barisan investasi, yang kini akan mendapatkan pengakuan dan keistimewaan kian besar lewat RUU Cipta Kerja. Dengan begitu, RUU Masyarakat Hukum Adat seperti air yang tidak bisa menghapus dahaga. Masyarakat adat akan selamanya terpinggirkan dengan klausul ini. Sebagaimana dikatakan William Scott Downey bahwa hukum tanpa keadilan ibarat luka tanpa obat. Menganga dan sakit selamanya. Kedua, syarat pengakuan dalam pasal 6 ayat 2 yang terhadap wilayah adat akan kian memberatkan masyarakat adat. Pasal 1 menerakan pengertian wilayah adat, yakni kesatuan wilayah berupa tanah, hutan, perairan, beserta sumber daya alam, baik yang di atasnya maupun yang terkandung di dalamnya, yang diperoleh secara turun temurun dan memiliki batas-batas tertentu, yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang hidup di dalamnya. Ada tanah, hutan, sumber daya alam. Pendeknya sebuah ruang yang pengaturannya tercantum dalam undang-undang lain, termasuk areal yang dibagi untuk bermacam sektor. Dalam undang-undang soal tata ruang, misalnya, ada pengaturan fungsi-fungsi hutan dan lahan sebagai kawasan lindung, termasuk di dalamnya hutan lindung dan hutan konservasi. Maka, jika masyarakat adat ada di sana, semestinya mereka wajib dilindungi, ada atau tidak ada pengakuan terhadap mereka. Agar dalam pengesahan masyarakat hukum adat dan wilayahnya menjadi satu kesatuan, yang tertuang dalam pasal 11 dan 13, perlu ada ketetapan yang mengatur keberadaan mereka jika wilayahnya dibebani izin-izin lain. Sebagai bentuk kebijakan afirmatif, seharusnya wilayah adat mendapat prioritas mendapatkan penetapan lebih dulu. Konsekuensinya RUU ini perlu mengatur adendum perizinan jika di sana sudah ada masyarakat adat. Paradigma ini perlu menjadi keputusan politik, jika benar aturan dibuat dengan semangat memberikan kepastian hukum bagi semua orang. Ketiga, Panitia Masyarakat Hukum Adat yang ditetapkan oleh bupati atau wali kota, gubernur maupun menteri yang tertuang dalam Pasal 7 hingga 9, ternyata juga bertugas memverifikasi hasil identifikasi sebuah wilayah adat seperti diatur pasal 15. Jika ini dibiarkan, akan melahirkan konflik kepentingan tiada tara yang akan melahirkan tata kelola pemerintahan yang buruk. Selain itu, pengumuman hasil identifikasi seperti tertuang dalam pasal 13 hanya disebutkan di kantor desa/kelurahan setempat. Partisipasi melalui keterbukaan informasi itu semestinya meliputi wilayah kabupaten/kota, provinsi, atau nasional, tergantung wilayah adat itu berada. Pengembangan infrastruktur dan penetapan izin pemanfaatan sumber daya alam semestinya memperhatikan pengumuman ini. Keempat, hambatan administrasi proses identifikasi, verifikasi, dan validasi juga dapat terjadi ketika batas-batas kabupaten belum ada. Akumulasi lima tahunan sebaran luas wilayah adat semestinya dimasukkan ke dalam penataan ruang yang direvisi tiap lima tahun. Klasifikasi wilayah pada penetapan tata ruang sejauh ini hanya berdasarkan fungsi dan struktur, tanpa memasukkan unsur penguasaan terhadap ruang itu. Analisis RUU Masyarakat Hukum Adat. Klasifikasi ini relevan ketika karakteristik hubungan antara masyarakat adat dan hutan atau wilayah lindung sangat kuat, seperti di Papua dan Papua Barat. Tanpa informasi penguasaan tanah dan hutan dalam tata ruang, penguasaan secara besar-besaran oleh pihak tertentu, termasuk land grabing, akan semakin kuat, yang seolah dibiarkan oleh negara dengan tidak membangun instrumen pengendaliannya. Perubahan penataan ruang saat ini, melalui RUU Cipta Kerja, mestinya memasukkan wilayah adat sebagai instrumen pengendalian konflik maupun menegaskan kepastian hukum hak-hak atas tanah, hutan, dan perairan di masa depan. Penetapan masyarakat hukum adat dalam RUU Masyarakat Hukum Adat sebaiknya dipikirkan lagi secara lebih hati-hati. RUU ini mestinya tak lagi terjebak dalam proses-proses administrasi yang selama ini justru jadi pengekang masyarakat adat mendapatkan hak ruang di wilayah tinggal mereka. RUU masyarakat adat akan lemah jika tak memprioritaskan masyarakat adat sebagai warga negara yang sah dan punya kedudukan setara di mata hukum, dengan masyarakat lain. Banyak bukti yang menunjukkan, kearifan lokal masyarakat adat justru melindungi hutan dan lingkungan yang lebih dibutuhkan penduduk dunia ketimbang sekadar investasi bisnis. Jika mengutip kembali Lydia Maria Child, RUU Masyarakat Hukum Adat bukan hukum karena ia mengabaikan asas keadilan sosial.