Halaman

Menyajikan dan menerima postingan untuk/dari masyakat Empat Lawang baik yang tinggal di Empat Lawang atau yang berada di luar daerah, yang berkaitan dengan Adat Istiadat, Seni Budaya Dll.

Raja Tiang Alam. Dari Gunung Merakso

Ekspedisi Pedalaman Palembang (Goenoeng Merakso) SETELAH menaklukan Kesultanan Palembang pada Tahun 1821, Belanda mengirim ekspedisi-ekspedisi tentaranya ke pedalaman, dalam rangka menanamkan dan memperluas kekuasaan setelah Sultan Palembang menyerah. Setelah dapat memadamkan perlawanan-perlawanan di daerah Lematang, dan setelah bermingu-minggu lamanya serta menderita korban yang besar dapat menguasai benteng di dusun-dusun, ekspedisi Belanda bergerak ke daerah Kikim. Disinipun belanda mendapat hambatan perlawanan yang kuat, akhirnya setelah daerah Kikim dapat mereka amankan, dan setelah dapat tambahan tenaga-tenaga baru dari Palembang, Belanda dapat maju dan mendirikan benteng di Tebing Tinggi. Tebing Tinggi pada waktu itu adalah kota kecil yang sangat strategis sekali bagi Belanda. Dari Tebing Tinggi dapat bergerak kearah Lubuk Linggau, Rawas, juga ke daerah Lintang 4 Lawang untuk seterusnya dapat menuju Tanah Pasemah. Kalau di daerah-daerah lain belanda mendirikan kampemen-kampemen ( benteng-benteng ) dari kayu-kayu, tapi di Tebing Tinggi kampemen mereka, berupa bangunan-bangunan yang permanen dengan dikelilingi parit-parit yang dalam. Dengan berpusat di Tebing Tinggi inilah belanda hendak menaklukan 4 Lawang. Kekuatan penentang belanda ini berpusat di Gunung Meraksa. Dusun Gunung Meraksa yang diapit oleh sungai Lintang Kiri dan sungai Lintang Kanan berada di ketinggian yang dikelilingi oleh tebing-tebing terjal. Dibelakang tebing-tebing ini terdapat pula hutan aur duri ( bambu berduri ) yang tumbuh berlapis-lapis. Hanya penduduk dusun saja yang tahu dan dapat melalui jalan setapak yang berliku-liku untuk bisa keluar dari dusun untuk berpergian ke tempat lain. Maka tidak heran dalam ekspedisi pertama Belanda pada Tahun 1845 gagal merebut benteng Gunung Meraksa. Mereka terpaksa kembali ke Tebing Tinggi dengan menderita korban yang besar. Malahan sewaktu mereka mudur melalui jalan dipinggir Sungai Musi masih juga ditempat-tempat tertentu mendapat serangan-serangan. Pada bulan Juli Tahun 1851 kembali belanda melancarkan serangan yang kedua, dilakukan dengan kekuatan yang lebih besar dipimpin Letnan Kolonel de Brauw. Letnan Kolonel de Brauw ini terkenal sebagai penakluk daerah Banten, yang menurut belanda sebagai pahlawan Djagaraga dan sengaja didatangkan ke Palembang, untuk menundukan daerah Lintang 4 Lawang. Tentara Belanda yang berpengalaman dalam perang Jati ditarik dari Lahat dan digabung dengan tentara yang sudah di Tebing Tinggi. Belanda berpendapat, karena Benteng Jati ada persamaan dengan Benteng Gunung Meraksa, yaitu diperkuat dengan parit-parit perlindungan serta dikelilingi dengan aur duri berlapis-lapis yang sukar ditembus. Pengalaman Belanda dalam perang Jati, ialah menggunakan meriam-meriam dengan peluru-peluru api yang dapat membakar kampung-kampung. Meriam-meriam inilah dengan prajurit-prajurit yang berpengalaman dikumpulkan dalam persiapan menaklukan daerah 4 Lawang dengan Gunung Meraksa sebagai pusatnya. Mereka bergerak dengan kekuatan lima perwira, 260 prajurit invanteri 4 buah mortir, 8 meriam dibantu satu armada lima ratus orang kuli paksa orang Indonesia sebagai pembawa barang-barang. Berangkat dari Tebing Tinggi dengan menyusuri pinggir sungai ke hulu Musi rombongan tentara Belanda menuju ke dusun Ulak Mengkudu sejauh 16 km dari Tebing Tinggi . Mereka berhenti di Desa ini untuk membuat jembatan dari bambo guna dapat menyeberangan tentara dengan alat-alatnya yang begitu banyak. Selain persenjataan berupa meriam-meriam, pelor-pelor, juga beras-beras dan sebagainya, perlengkapan memasak dan lain-lain pun banyak sekali. Perhitungan mereka ekspedisi ini akan memakan waktu kira –kira selama tiga bulan. Pantas saja barang-barang yang dibawa begitu banyak. Memang tersedia bambu-bambu banyak sekali di daerah itu, sehingga dalam tiga hari saja penyeberangan dapat mereka lakukan dengan berhasil baik . Dengan menempuh perjalanan yang berat berupa medan yang berbukit-bukit yang tinggi , tebing-tebing yang terjal serta lembah yang dalam-dalam dan hutan yang lebat, selama empat hari, tentara Belanda ini dapat tiba di tujuan. Pada ekspedisi mereka yang pertama kali dahulu, mereka serang Gunung Meraksa secara frontal dan tidak menghasilkan apa-apa, malahan menderita kekalahan. Mereka mengerahkan kuli-kuli mencoba menembus pertahanan aur duri dengan memotong batang-batang bambu yang sangat keras dan sangat padat dengan parang-parang. Di belakang kuli-kuli, tentara Belanda melindungi mereka. Mula-mula ada kemajuan dengan dapat memotong dan merobohkan rumpun demi rumpun bambu, tapi pekerjaa ini sia-sia belaka. Pisau atau parang yang dipakai cepat sekali menjadi tumpul, penyerangan menjadi lamban dan pejuang-pejuang yang tak terlihat dari benteng dapat lelasa menembaki tentara Belanda yang mengawal, dan menimbulkan korban di pihak Belanda. Akhirnya setelah berusaha selama beberapa hari dengan cara usaha ini dihentikan. Selama dua minggu mereka berusaha menaklukan benteng, dan tidak memberikan hasil. Pada hari ke-enam belas mereka meninggalkan medan pertempuran dan kembali ke Tebing Tinggi. Dengan pengalaman penyerangan pertama yang gagal, mereka lalu memakai strategi yang telah memberikan hasil seperti di perang Jati. Mereka kepung benteng Gunung Meraksa dengan rapat sehingga tidak ada yang dapat masuk atau keluar. Pengepungan ini dapat mereka lakukan karena jumlah anggota tentara yang cukup banyak. Sementara pengepungan, meriam-meriam mereka terus menembaki dusun dengan peluru-peluru api. Memang terjadi kebakaran- kebakaran, tapi tetap benteng tidak menyerah. Kuli-kuli yang tidak bertugas, mereka kerahkan untuk terus memotong bambu-bambu pertahanan. Rencana Belanda adalah hendak memaksa benteng menyerah karena kekurangan makan dan air. Kebutuhan air untuk benteng sebelum dikepung, merejka ambil dari sungai yang berada di luar, di ayiek Lintang. Karena tak sabar, Belanda beberapa kali menyerbu serentak, dari berbagai penjuru benteng, namun dapat dipukul mundur dengan korban besar. Kuli-kuli yang dengan rasa takut dipaksa memotong bambu-bambu berduri banyak yang tewas kena tembak dari tempat-tempat tersembunyi. Yang kena ranjaupun banyak. Akhirnya Belanda menyadari hanya dengan cara membuat penduduk kelaparan dan kekurangan air, yang memaksa benteng untuk menyerah. Memang di dalam benteng sendiri persediaan bahan makanan sudah sangat menipis setelah mengepungan berjalan hampir satu bulan. Beras tinggal sedikit, sapi tinggal beberapa ekor, dan mendatangkan dari luar benteng sungguh tak mungkin karena semua jalan keluar tertutup rapat oleh Belanda. Akhirnya benteng menyerah dan Belanda mematuhi syarat untuk tidak membakar desa Gunung Meraksa, seperti yang biasa meraka lakukan di tempat-tempat lain. Perlawanan / Perang Gunung Merakso ini dipimpin oleh Radja Tiang Alam (Masiun) bin Jemuddin bin Ali Hanafiah bin Zainuddin. yang mati matian berperang dengan belanda. Cerito ini ditulis dalam laporan Expedisi Belanda ke Palembang (Gunung Merakso) 1812-1889, Laporan itu ditujukan kepada Ratu Belanda. Disitu dengan jelas dituliskan ada dua perang hebat yg banyak menghabiskan tentara dan logistik Belanda, perang dalam menumpas Sultan Palembang. dan perang dalam menumpas Radja Tiang Alam Gunung Meraksa. Tahun 1856 Gunung meraksa ditaklukkan Belanda, Radja Tiang Alam ditangkap. dibawa ke Palembang lalu di adili di Batavia, dan Tahun 1858 Radja Tiang Alam diasingkan ke Salatiga, Jawa Tengah. Sementara itu , Menke de Groot menuliskan kisah mengenai ekspedisi ke Palembangs Bovenlanden (Pedalaman Palembang/Goenoeng Merakso ) merupakan ekspedisi hukuman dari Tentara Kerajaan Hindia Belanda ke Palembang di Sumatra (1851-1859) untuk menghilangkan gangguan di pedalaman Palembang, bahkan setelah ekspedisi ke Palembang pada 1819 dan 1921 masih selalu ada ketegangan di pedalaman Palembang. Salah satu kesalahan Pemerintah Hindia Belanda adalah pemerintah gagal menghormati otoritasnya, tetapi membiarkan penduduk yang cinta damai dirampok oleh kelompok –kelompok militan dari tempat lain, tanpa menghukum yang bersalah. Hasilnya adalah bahwa penduduk tidak hanya kehilangan kepercayaan pada kekuatan pemerintah, tetapi juga ada penduduk yang bergabung dengan negara-negara perampok untuk mendapatkan bagian dari hasil curian dan perampokan. Pada tahun 1828 Kranga Wira Lentika, kepala Lematang, telah dibalas dendam oleh para orang-orang Passum; orang-orang ini melintasi perbatasan dan bahkan mendekati kota Palembang. Pada tahun 1830 sebuah pemberontakan pecah di Lobo-Poeding sebagai akibat dari peningkatan harga sewa tanah. Pada 1835 pasukan Belanda kepung di Kaban selama lebih dari 40 hari; berulang kali permusuhan terjadi di mana-mana di wilayah-wilayah ini; pada tahun 1841 dan pada tahun 1842 malah beberapa tentara Eropa dibunuh dan akhirnya pos Belanda diserang di Moeara-Klingie; namun tidak satu pun dari para pelaku gangguan ini dihukum sehingga tidak ada rasa hormat sedikit pun terhadap pemerintah dan tindakan orang jahat ini meningkat ketika pemerintah menunjukkan ketidakberdayaan yang lebih besar. Gubernur Palembang, pangerang Krawa Djaje, memicu kerusuhan lebih jauh. Alih-alih bertindak dalam semangat pemerintah, penduduk semakin ditekan oleh dia, sehingga pajak tanah menjadi beban penduduk, jauh lebih besar daripada pajak yang sebelumnya dikenakan oleh sultan. Dia tahu begitu banyak pengaruh sehingga dia bisa memicu pemberontak rakyat setiap saat, yang sangat membenci pemerintah sehingga perlu bertindak dengan paksa melalui pemerintah. Ekspedisi Populasi Ampat Lawang, bagian dari asisten residensi Tebing-Tinggi, residensi Palembang, berulang kali terjadi pemberontak dan semangat perlawanan telah menjadi begitu luas bahwa pada tahun 1850 .Bukan permusuhan dari penaklukan menang. Ketika Letnan Kolonel De Brauw ke komandan penduduk dan sipil-militer dari Palembang ditunjuk ia mendengar bahwa pajak tanah tidak diterapkan, akibatnya komandan divisi Goenong-Maraksa tersinggung dan lagi beberapa tentara tewas oleh penduduk Lintang-Kiri . De Brauw melakukan upaya untuk menundukkan Tiang-Alam, tetapi penduduk telah memperkuat diri di Oedjong-Ali; komandan, di bawah komando Kapten C. Meijer, sekarang diperintahkan untuk maju ke Oedjong-Ali. Sepanjang jalan ada pertempuran terus-menerus dengan para pemberontak dan dengan Goenong-Maraksa pasukan itu ditunggu oleh seribu musuh bersenjata berat. Walaupun berhasil melarikan diri dari musuh, tetapi karena kurangnya pasukan di daerah yang memberontak, mereka tidak dapat melakukan apa-apa kecuali mundur ke Tebing-Tinggi. Sebuah ekspedisi harus dikirim ke Ampat-Lawang sekarang karena di sana juga dan di Lematang-Ulau ada pemberontakan; Gubernur sekarang dipecat dan dipindahkan ke Batavia, tetapi masih diperlukan ekspedisi baru. Lematang Ulu bukan satu-satunya kabupaten yang memberontak, bahkan di Kikim, Moesie-Uluw dan Ampat-Lawang, dan tidak kurang dari 20 marga yang mengancam melakukan pemberontakan. Sekarang ada perkelahian tajam yang mengarah pada hasil yang diinginkan: ketika Residen meninggalkan Brauw, Palembang, Tebing-Tinggi, Labat, dan Moeara-Klingie dikelilingi oleh musuh dan terputus dari luar oleh benturan komunikasi; 26 distrik mengalami pemberontakan total dan para pemberontak muncul di dekat ibu kota; Setelah tindakan ofensif pemerintah, orang-orang telah maju sejauh ini sehingga kontak antara benteng-benteng telah saling dipulihkan, para pemberontak dipukul mundur ke mana-mana dan penduduk di Ampat-Lawang mulai kembali ke wilayahnya. Sementara itu, di garnisun Tebing-Tinggi, penyakit menular menjadi wabah yang menelan korban 150 orang dan itu perlu untuk mengirim pasukan baru. Pada awal 1852 ekspedisi yang sebenarnya ke Ampat-Lawang akan berlangsung. Sebelum permulaan tahun 1853 semua pemberontak menjadi sasaran; di tahun-tahun berikutnya, pemberontakan kecil akan terus-menerus harus dibendung, dan hingga 1859, pasukan harus dikirim beberapa kali untuk menekan pemberontakan yang membara.#osk Sumber : 1. Nederlandsekrijgsmacht.nl 2. kuris.wordpress.com 3. 1900. W.A. Terwogt. Het land van Jan Pieterszoon Coen. Geschiedenis van de Nederlanders in oost-Indië. P. Geerts. Hoorn 4. 1900. G. Kepper. Wapenfeiten van het Nederlands Indische Leger; 1816-1900. M.M. Cuvee, Den Haag. 5. 1876. A.J.A. Gerlach. Nederlandse heldenfeiten in Oost Indë. Drie delen. Gebroeders Belinfante, Den Haag

Empat Kelemahan RUU Masyarakat Adat.

RUU Masyarakat Hukum Adat meneruskan syarat pengakuan legalitas sebelum negara mengakui penduduk adat memiliki hak yang sama dengan warga negara lain. Empat kelemahan RUU Masyarakat ada yang berpotensi menjauhkan tujuan melindungi mereka. SEORANG aktivis hak-hak perempuan dan hak penduduk asli Amerika, Lydia Maria Child (1802-1880) pernah mengatakan, “Hukum bukanlah hukum jika melanggar prinsip keadilan.” Law is not law, if it violates the principles of eternal justice. Kalimat itu akan terasa sesuai jika kita membaca Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat pada draf 4 September 2020. Rancangan itu, yang diajukan sejak 2009, tampak hanya mewadahi prosedur administrasi pengakuan masyarakat hukum adat ketimbang meluruskan hak-hak warga negara yang selama ini diperlakukan tidak adil. Rancangan itu terdiri dari 17 bab dan 58 pasal. Sebanyak 20 pasal di antaranya telah mendapat masukan perubahan melalui rapat Panitia Kerja DPR maupun dari rapat dengar pendapat dengan pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, seperti tertuang dalam laporan Ketua Panja DPR kepada pimpinan dan anggota Badan Legislasi, 4 September 2020. Dalam penjelasan umum ada keterangan bahwa kedudukan masyarakat hukum adat selama ini rentan secara ekonomi, hukum, sosial budaya, maupun hak asasi manusia. Akibat marginalisasi, masyarakat adat juga sering kali mengalami konflik internal maupun dengan pihak lain. Selain itu ada benturan ketika hukum adat dihadapkan dengan hukum positif. Sebelum mendapatkan perlindungan menjalankan hak-haknya, negara terlebih dahulu mesti mengakuinya melalui proses legalitas formal. Pengakuan dilakukan oleh suatu kepanitiaan yang akan mengidentifikasi, memverifikasi, dan memvalidasi keberadaan mereka berdasarkan karakteristik yang telah ditentukan dalam RUU itu. Mereka sah sebagai masyarakat adat yang diatur hak-haknya oleh negara jika sudah mendapat surat pengakuan resmi dari pejabat setingkat menteri. Karena itu, ada beberapa hal yang lemah dalam RUU ini: Pertama, secara umum ruang hidup masyarakat hukum adat kini sudah berbenturan dengan berbagai penggunaan dan pemanfaat sumber daya alam yang izinnya diatur oleh undang-udang lain yang sudah berlaku. Hal itu berarti masyarakat adat telah ditempatkan di barisan belakang dan tidak mendapat pelayanan setara dengan kelompok masyarakat lainnya. Maka, menempatkan perlindungan masyarakat hukum adat setelah proses pengakuan hanya akan melanggengkan posisi mereka tetap di barisan belakang. RUU ini semestinya memastikan apa yang segera harus dilakukan negara untuk melindungi mereka—terlepas ada atau tidak pengakuan legal atas keberadaannya—dari benturan dengan korporasi yang akan menggusur ruang hidup mereka. Status wilayah adat indikatif semestinya menjadi instrumen melindungi masyarakat hukum adat. Mari bandingkan dengan “penunjukan” kawasan hutan negara, yang mendapatkan perlindungan hukum positif kendati pejabat negara setingkat menteri belum mengakui dan mengesahkannya. Ketika RUU itu tidak bisa memastikan tenggat proses identifikasi, verifikasi, dan validasi serta penetapan legalitas masyarakat hukum adat, mereka akan selalu berada di belakang barisan investasi, yang kini akan mendapatkan pengakuan dan keistimewaan kian besar lewat RUU Cipta Kerja. Dengan begitu, RUU Masyarakat Hukum Adat seperti air yang tidak bisa menghapus dahaga. Masyarakat adat akan selamanya terpinggirkan dengan klausul ini. Sebagaimana dikatakan William Scott Downey bahwa hukum tanpa keadilan ibarat luka tanpa obat. Menganga dan sakit selamanya. Kedua, syarat pengakuan dalam pasal 6 ayat 2 yang terhadap wilayah adat akan kian memberatkan masyarakat adat. Pasal 1 menerakan pengertian wilayah adat, yakni kesatuan wilayah berupa tanah, hutan, perairan, beserta sumber daya alam, baik yang di atasnya maupun yang terkandung di dalamnya, yang diperoleh secara turun temurun dan memiliki batas-batas tertentu, yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang hidup di dalamnya. Ada tanah, hutan, sumber daya alam. Pendeknya sebuah ruang yang pengaturannya tercantum dalam undang-undang lain, termasuk areal yang dibagi untuk bermacam sektor. Dalam undang-undang soal tata ruang, misalnya, ada pengaturan fungsi-fungsi hutan dan lahan sebagai kawasan lindung, termasuk di dalamnya hutan lindung dan hutan konservasi. Maka, jika masyarakat adat ada di sana, semestinya mereka wajib dilindungi, ada atau tidak ada pengakuan terhadap mereka. Agar dalam pengesahan masyarakat hukum adat dan wilayahnya menjadi satu kesatuan, yang tertuang dalam pasal 11 dan 13, perlu ada ketetapan yang mengatur keberadaan mereka jika wilayahnya dibebani izin-izin lain. Sebagai bentuk kebijakan afirmatif, seharusnya wilayah adat mendapat prioritas mendapatkan penetapan lebih dulu. Konsekuensinya RUU ini perlu mengatur adendum perizinan jika di sana sudah ada masyarakat adat. Paradigma ini perlu menjadi keputusan politik, jika benar aturan dibuat dengan semangat memberikan kepastian hukum bagi semua orang. Ketiga, Panitia Masyarakat Hukum Adat yang ditetapkan oleh bupati atau wali kota, gubernur maupun menteri yang tertuang dalam Pasal 7 hingga 9, ternyata juga bertugas memverifikasi hasil identifikasi sebuah wilayah adat seperti diatur pasal 15. Jika ini dibiarkan, akan melahirkan konflik kepentingan tiada tara yang akan melahirkan tata kelola pemerintahan yang buruk. Selain itu, pengumuman hasil identifikasi seperti tertuang dalam pasal 13 hanya disebutkan di kantor desa/kelurahan setempat. Partisipasi melalui keterbukaan informasi itu semestinya meliputi wilayah kabupaten/kota, provinsi, atau nasional, tergantung wilayah adat itu berada. Pengembangan infrastruktur dan penetapan izin pemanfaatan sumber daya alam semestinya memperhatikan pengumuman ini. Keempat, hambatan administrasi proses identifikasi, verifikasi, dan validasi juga dapat terjadi ketika batas-batas kabupaten belum ada. Akumulasi lima tahunan sebaran luas wilayah adat semestinya dimasukkan ke dalam penataan ruang yang direvisi tiap lima tahun. Klasifikasi wilayah pada penetapan tata ruang sejauh ini hanya berdasarkan fungsi dan struktur, tanpa memasukkan unsur penguasaan terhadap ruang itu. Analisis RUU Masyarakat Hukum Adat. Klasifikasi ini relevan ketika karakteristik hubungan antara masyarakat adat dan hutan atau wilayah lindung sangat kuat, seperti di Papua dan Papua Barat. Tanpa informasi penguasaan tanah dan hutan dalam tata ruang, penguasaan secara besar-besaran oleh pihak tertentu, termasuk land grabing, akan semakin kuat, yang seolah dibiarkan oleh negara dengan tidak membangun instrumen pengendaliannya. Perubahan penataan ruang saat ini, melalui RUU Cipta Kerja, mestinya memasukkan wilayah adat sebagai instrumen pengendalian konflik maupun menegaskan kepastian hukum hak-hak atas tanah, hutan, dan perairan di masa depan. Penetapan masyarakat hukum adat dalam RUU Masyarakat Hukum Adat sebaiknya dipikirkan lagi secara lebih hati-hati. RUU ini mestinya tak lagi terjebak dalam proses-proses administrasi yang selama ini justru jadi pengekang masyarakat adat mendapatkan hak ruang di wilayah tinggal mereka. RUU masyarakat adat akan lemah jika tak memprioritaskan masyarakat adat sebagai warga negara yang sah dan punya kedudukan setara di mata hukum, dengan masyarakat lain. Banyak bukti yang menunjukkan, kearifan lokal masyarakat adat justru melindungi hutan dan lingkungan yang lebih dibutuhkan penduduk dunia ketimbang sekadar investasi bisnis. Jika mengutip kembali Lydia Maria Child, RUU Masyarakat Hukum Adat bukan hukum karena ia mengabaikan asas keadilan sosial.

Makna Dan Filosopi Ketupat







Saat hari raya Idul Fitri, banyak ditemukan pedagang yang menjajakan ketupat di mana-mana. Harga yang ditawarkan juga berbeda-beda.

Tapi, biasanya kalau sudah dekat dengan hari Lebaran, harga ketupat bisa jauh lebih mahal dari biasanya.

Selain disajikan ketika momen Lebaran tiba, pernah tidak coba mencari tahu asal usul ketupat ini sebenarnya dari mana ya? Atau filosofi dan makna di balik bentuk ketupat apa ya?

Makna dan Filosofi Ketupat Lebaran

Nah, ternyata ketupat sudah ada pertama kali sejak zaman Wali Songo. Makanan ini diperkenalkan oleh salah satu wali, Sunan Kalijaga, yang pada waktu itu berdakwah menyebarkan agama Islam di pulau Jawa.

Tapi, di zaman Sunan Kalijaga makanan itu tidak dinamai dengan ketupat seperti yang kita ketahui sekarang.

Istilah yang dikenal saat itu adalah Bakda yang artinya setelah. Pada masa itu, ada dua Bakda yaitu Bakda Lebaran dan Bakda Kupat.

Bakda Lebaran adalah saat Hari Raya Idul Fitri. Seluruh umat Islam diharamkan berpuasa pada hari itu.

Sementara, Bakda Kupat dilaksanakan satu minggu setelah Lebaran dan ini merupakan hari raya bagi yang melaksanakan puasa Syawal selama enam hari. Kalau sekarang, istilahnya adalah "puasa enam".

Dalam bahasa Jawa, Kupat singkatan dari "ngaku lepat". Artinya, mengakui kesalahan. Maka dari itu, selalu ada prosesi sungkeman sebagai salah satu tradisi Lebaran masyarakat Indonesia saat Hari Raya Idul Fitri.

Orang yang lebih muda bersimpuh di hadapan orang tua sambil meminta maaf atas kesalahan yang pernah diperbuat. Jadi, sudah tau ya kenapa kalau Idul Fitri identik dengan sungkeman?

Di samping itu, ada juga yang ternyata menyebut kepanjangan dari Kupat adalah "laku papat" atau empat tindakan. Ya, empat tindakan ini kita lakukan saat hari raya tiba yaitu lebaran, luberan, leburan, laburan.

Kata "lebaran" sendiri artinya usai. Itu menandakan bahwa waktu berpuasa di bulan Ramadan sudah selesai. Lalu, kata 'luberan" berasal dari kata meluber atau melimpah. Jadi, kita diharapkan berbagai rezeki kepada yang membutuhkan melalui zakat dan sedekah.

Kemudian, kata "leburan" artinya habis melebur. Maka dari itu, saat Lebaran tiba semua dosa dan kesalahan akan melebur karena semua umat Muslim saling bermaaf-maafan.

Terakhir, kata "laburan" berasal dari kata "labur" atau kapur. Zat kapur dikenal sebagai penjernih air atau pemutih dinding. Harapannya, saat Hari Raya Idul Fitri, setiap insan kembali suci baik lahir maupun batin, merayakan kemenangan

Beberapa Penganan Yang Populer Di Empat Lawang ,Hanya tinggal Nama.

1. Tapai Yang Di Bungkus Daun Miling (Kemiri) 

     Sekarang tapai masih banyak dibuat masyarakat di Empat Lawang,  namun yang di bungkus dengan daun kemiri sekarang sudah langka.
        Tapai yang dibungkus daun kemiri ini, biasanya di sajikan sewaktu ngersayo nugal ( nanam padi ladang)  yang sekarang sdh jarang di kerjakan masyarakat. 




2.Sagon
    Penganan ini juga sudah langka di Empat Lawang. Biasanya penganan ini di buat untuk makanan ringan sewaktu akan mengadakan acara nikahan. 
     Penganan ini sangat sederhana, yaitu dibuat dari tepung beras hanya dikasih gula dalam keadaan kering. 




3. Lemang bambu di hari melemang. 
      
     Satu hari sebelum acara sedekahan, di Empat Lawamg warga bergotong royong masak lemang, maka nya hari itu sampai sekarang dikatakan melemang. Namun sekarang sdh jarang sekali ditemui. 




4.Roti Dincis. 

   Di katakan roti dincis karena cetakannya dari kaleng bekas sardent yang lonjong. Roti dencis ini banyak di buat sebagai penunjang ekonomi di sekitar Pendopo, hususnya di Desa Tebat Payang Pobar. 
Ciri has roti ini selain dari cetakannya, bau nya bau pesing (ancing) yang menyengat  namun sangat disukai masyarakat karena rasanya enak.  Sekarang jangankan rotinya cetakannya saja tidak ada lagi. 



By. Sulton

3 Penganan Muncul Hanya Sebulan Dalam Setahun Di Empat Lawang.

.


1.Kelepun.

   Kalu dulu biasanya dua tiga hari sebelum memasuki bulan Ramdhan para ibu ibu dan
gadis sibuk menumbuk beras ketan untuk membuat tepung, sebagai persiapan untuk
membuat kelepun sebagai menu buka puasa.




2.Dawat Beluluk atau Kolang Kaling. 

    Pohon Enau selain di sadap untuk mengambil niranya (sajang), buahnya yang belum tua 
diambil masyarakat di Empat Lawang untuk penganan buka puasa.

    Buah yang gatal bila kena kulit, direbus kemudian diambil isinya lalu direndam dengan air dan dicuci setelah itu isi buah enau yg masih lembut itu siap dikasih air panas tambah     
gula merah yang lebih mantap.






3.Roti Raden. 

    Ini salah satu menu untuk buka puasa, yang tadinya merupakan roti kering, setelah di rendam dengan air dan dikasih gula



By. Sulton